CLASIFIED CULTURE | JOURNEY | 17 Agustus 2019

1999, Pop Rock, Sheila on 7, dan Foo Fighters

Pada tulisan sebelumnya saya mengenang 1999 sebagai tahun paling underrated dalam sejarah musik modern, kalau tidak disejajarkan sebagai yang terbaik.

Pada tulisan sebelumnya saya mengenang 1999 sebagai tahun paling underrated dalam sejarah musik modern, kalau tidak disejajarkan sebagai yang terbaik. Karakteristik yang menonjol di tahun itu ialah karya-karya populer yang mudah didengar sekali-telan namun tetap memperhatikan aspek estetika, mutu produksi, dan penulisan lagu.

Intip playlist berisi lagu-lagu dari 1999 di Spotify, generasi yang tumbuh remaja atau beranjak dewasa di pengujung 90-an dengan mudah akan menemukan nomor-nomor pop yang pernah atau bahkan masih menjadi bagian dari hidup mereka. Pula tidak mengejutkan kalau lagu-lagu tersebut masih berkumandang di radio yang diputar dalam perjalanan mengarungi tujuan harian.

Bagi saya 1999 merupakan tahun kejayaan pop rock. Bagaimana tidak, di tahun yang sama dua band dari belahan dunia berbeda merilis karya terbaik mereka: Sheila on 7 dengan debutnya dan Foo Fighters dengan album ketiganya.

Sheila on 7 bisa dikatakan sebagai contoh gampang band yang digemari khalayak luas karena lagu-lagunya punya kesederhanaan yang khas. Banyak yang mencoba mengikuti tetapi tidak pernah mencapai sonik serupa. Mereka pun tidak dibicarakan berkat kontroversi di luar musik; alih-alih meraup sukses tanpa kehilangan jati diri.

Melalui obrolan dengan seorang kawan yang tumbuh besar di Yogyakarta dia memandang Sheila on 7 sebagai satu-satunya band dari kota tempat tinggalnya yang masih bertahan sampai sekarang (terlebih dalam konteks musisi yang tadinya dikontrak oleh label rekaman besar). Saya sependapat. Bukan berarti saya tidak memperhitungkan para talenta brilian Yogyakarta – beberapa di antaranya favorit saya, kok. Namun dengan semua yang sudah diraih, sulit untuk tidak menghormati kelompok yang kini beranggotakan Akhdiyat Duta Modjo, Eross Candra, Adam Subarkah, dan Brian Kresna Putro.

Tanpa mengabaikan awal terbentuknya mereka, segala status yang didapat Sheila on 7 dimulai di 1999. Setelah pada Oktober 1998 kuintet ini resmi teken kontrak 8 album bersama Sony Music Indonesia serta melakukan rekaman di bulan yang sama, pada Februari 1999 single dan video klip Kita resmi dirilis. Faktor keberuntungan turut berperan karena video tersebut dibintangi oleh para pemeran Lupus Milenia yang cukup digandrungi anak-anak muda pada waktu itu, melanjutkan kesuksesan novel Lupus yang populer medio 80-90an.

Satu bulan kemudian, album pertama Sheila on 7 berjudul sama dengan nama band dilepas. Kamu mungkin sudah bosan mendengar cerita kesuksesannya; inilah album pertama dalam sejarah musik Indonesia yang penjualannya berhasil menembus lebih dari satu juta keping. Dari mahasiswa yang senang nge-band dan bermimpi masuk studio rekaman dalam “semalam” menjadi sosok terkenal yang konsernya dijejali banyak penonton. Tatkala para remaja Indonesia bersenandung Kita, J.A.P, Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki, Dan, serta Perhatikan, Rani! di manapun mereka berada, lima pemuda berusia 19-20 tahun sudah harus mempertanggung jawabkan karya perdana mereka di atas panggung, juga sibuk menyiapkan album kedua yang kita tahu bertajuk Kisah Klasik Untuk Masa Depan – pun laku sejuta keping lebih.

Di luar lagu-lagu legendaris yang disebutkan di atas, Pe De merupakan lagu yang paling berkesan bagi saya yang saat itu duduk di kelas 4 SD. Saya belum terpapar banyak musik; sebagian besar referensi ditularkan oleh ayah karena saya merupakan anak pertama. Lirik Pe De lugas, jujur, dan menggelitik. Kalau saja saya tumbuh di awal 90an kemungkinan besar saya akan menyukai Slank. Ya, lagu ini semangatnya sangat Slank. Bicara sedikit soal Slank, sampai detik ini saya belum memiliki hubungan emosional dengan karya atau album tertentu dari Bimbim cs. Setelah Sheila On 7 saya terlanjur “jatuh ke pangkuan” Dewa (19) dan Padi.

 

Kebetulan Kosmik di Belahan Dunia Lain

Di tahun yang sama delapan bulan usai Sheila On 7 menuai kejayaan di percobaan pertama, pada usia 30 tahun Dave Grohl berada di fase baru hidup yang dimanifestasikan melalui There Is Nothing Left to Lose. Pada titik ini si lelaki Capricorn telah ditinggal tewas rekan satu band, bercerai dengan istri pertama, belasan tahun menjalani tur bersama Scream dan Nirvana, serta sedang muak-muaknya pada popularitas yang kembali ia terima melalui The Colour and the Shape, album kedua Foo Fighters.

Grohl yang meninggalkan bangku SMA demi main band jemu terhadap keglamoran Los Angeles, California dan yang ia pikirkan cuma satu; membuat musik – bisa jadi ini pula yang ada di kepala Eross, pencipta lagu utama Sheila On 7, yang selepas SMA ogah berkuliah karena yang ia inginkan hanyalah karier bermusik.

Berbeda dengan Eross, selama yang Grohl tahu dalam kariernya ia selalu menulis dan merekam album di bawah naungan label rekaman. Namun menjelang album ketiga Grohl memutuskan keluar dari Capitol Records dan membeli rumah di Alexandria, Virginia untuk dijadikan studio rekaman oleh Foo Fighters yang waktu itu diisi oleh pemain bass Nate Mendel dan penggebuk drum yang baru resmi bergabung, Taylor Hawkins.

Dalam wawancara bersama Kerrang, Grohl mengaku bahwa itu merupakan salah satu momen hidupnya yang paling rileks. Tidak ada komputer atau peralatan digital yang mereka gunakan, hanya bertiga mengulik melodi dengan instrumen masing-masing.

“Yang kau butuh cuma lagu yang layak didengar, beberapa kawan, dan tujuan yang murni,” ungkap Grohl.

There Is Nothing Left to Lose sekaligus menjadi album pertama Foo Fighters yang dikerjakan oleh energi, pikiran, dan duduk bersama ketiga anggota (dua album awal bisa dibilang solonya Dave Grohl berkedok Foo).

Hasilnya sungguh nikmat. Pop rock next level. Secara sonik lebih halus dan melodius ketimbang The Colour and the Shape. Di sini pula batu pijakan mood musik Foo Fighters sampai hari ini: bersenang-senang headbang tanpa harus sangat agresif serta lagu-lagu yang enak dinyanyikan bersama. Sebelas lagu di dalamnya saling melengkapi, tidak ada yang menonjol sendiri. Wajar, karena mereka tidak menanggung beban harus menghasilkan hits atau single atau apapun itu perihal kepentingan promosi.

Para penggemar Foo Fighters silakan berargumen, tapi bagi saya There Is Nothing Left to Lose merupakan album terbaik Foo Fighters – cuma bisa didekati One by One yang notabene perkenalan perdana saya dengan mereka serta Wasting Light yang jadi ajang pembuktian Foo setelah diperkirakan sudah habis. Menjadi band pertama yang rekaman di ruangan bawah tanah lalu diganjar Piala Grammy cuma bonus.

Saya mulai khusyuk menyelami There Is Nothing Left to Lose lima tahun lalu. Pada titik itu saya adalah seorang lulusan universitas yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sangat senang bermalas-malasan, namun di saat bersamaan menyadari sedang berada di zona nyaman dan mengalami pergolakan antara fisik dan mental.

Saya tidak mengantisipasi keberadaan “mesin waktu” ini guna membawa balik ke 1999; di mana langkah masih ringan dan berjalan tanpa harus memiliki tujuan. Dengan pengalaman menjulang, Grohl telah berada pada titik kebutuhan selanjutnya, yang tidak bisa saya bayangkan dan tidak akan pernah sama. Saya harus mencari tahu sendiri dengan terus berjalan, sembari mengira-ngira tujuan dan keinginan. There Is Nothing Left to Lose sendiri tidak bersumbangsih signifikan dalam memberikan saya pekerjaan sekarang ini. Saya cuma menyeruput sari-sari pengalaman Grohl dan Eross.

Saat membaca keterangan Grohl mengenai album ini, saya tersenyum tipis. Lima tahun, jatuh-bangun, dan (melewati) ratusan album, saya kembali bertemu There Is Nothing Left to Lose. Oh, hello again.

“Ini tentang ketika kau merasakan suatu emosi setelah menjalani periode yang panjang dan berat. Maka kau tidak punya apapun lagi yang tersisa. (Materi di dalamnya) dapat terdengar positif, putus asa, dan gegabah.”

Sekali lagi, terima kasih, 1999.

 

Penulis: Simanjuntak

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...