CLASIFIED CULTURE | JOURNEY | 09 Agustus 2019

Banyak Alasan Kenapa 1999 adalah Tahun Terbaik Musik, Yuk Intip Alasannya!

Tidak banyak yang saya ingat dari tahun 1999.

Tidak banyak yang saya ingat dari tahun 1999. Saya masih terlalu muda untuk memahami gejolak politik yang mengirimkan Gus Dur ke tampuk kekuasaan, juga konflik yang terjadi di Ambon dan Timor Leste. Yang pasti terjustifikasi di antaranya, pada pertengahan tahun itu saya naik ke kelas 4 SD. Pada 1999 pula saya melanjutkan euforia Piala Dunia dari tahun sebelumnya,  yang membuat saya mengonsumsi segala informasi yang berhubungan dengan sepak bola (di pertengahan tahun yang sama Manchester United mencatatkan salah satu kemenangan final paling berkesan dalam sejarah sepak bola).

Kepingan lain yang masih tersisa di ingatan yakni momen pergantian tahun; langit gelap dan angin kencang di pengujung milenium seolah mendukung rumor kiamat yang berseliweran selama beberapa hari. Dua puluh tahun berlalu dan umat manusia masih belum mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan. Hal berbeda dialami Tabloid Go yang mendampingi saya sewaktu pergantian milenium. Kepergiannya hanyalah awal dari tumbangnya eksistensi media cetak. Selama beberapa tahun terakhir kabar tutupnya media cetak tak lebih mengejutkan dari berita kekonyolan politikus dan pejabat negara.

Pada 1999 musik yang paling sering saya dengarkan adalah album ketiga Backstreet Boys, Millennium, yang keluar pada bulan Mei di tahun itu. Sejauh yang saya ingat, bisa jadi album dengan hits berjudul I Want It That a Way tersebut merupakan album musik orisinal pertama yang saya beli, atau lebih tepatnya dibelikan orang tua. Saya menambahkan kata “orisinal” karena berselang beberapa tahun dari 1999 lanskap musik Indonesia berhasil diacak-acak oleh budaya pembajakan dan saya ikut terjerat pusarannya. Album debut Sheila on 7 yang fenomenal itu, saya punya dua versi: kaset orisinal dan CD bajakan.

Album berikutnya yang saya dengarkan keseluruhan kayaknya sih debut Christina Aguilera yang kebetulan turut dirilis di 1999. Pada saat itu bahkan saya tidak mengetahui mengenai perseteruan antara Team Britney (Spears) dan Team Christina; pilihan ada dua, kamu pilih mana? Saya tidak bilang lagu-lagu awal Britney tidak enak, tapi sepertinya saya tahu kenapa saya lebih memilih mendengarkan Christina; lebih bisa menyanyi (baca: suaranya lebih bagus) serta keburu takluk pada sensualitasnya yang ditandai dengan video klip Come On Over. Memilih Christina sekaligus menjadi bukti kecenderungan aneh yang sampai sekarang saya belum tahu maksudnya apa; saya sangat menyukai nama bagus.

“Bagus” di sini bisa berarti unik, bisa berarti berkarakter kuat, atau bilanglah jarang saya lihat. Maaf, Shakespeare. Pada waktu itu nama Christina Aguilera lebih menarik daripada Britney Spears, Jessica Simpson, Mandy Moore, atau mungkin Mariah Carey.

Lalu ada apa dengan 1999? Kenapa saya harus membicarakannya?

Yang pertama karena melihat 1999 di tahun sekarang membuat saya menyadari bahwa tahun itu telah berlalu selama genap 20 tahun, angka yang merupakan satu per tiga usia saya. Kalau alasan tersebut kurang penting, saya mau kasih tahu sesuatu yang pasti tidak akan disetujui oleh para penggemar musik dari berbagai generasi di luar sana.

Bagi saya yang memulai perjalanan mendengar musik dan tumbuh dengan mendengarkan pop dan rock, 1999 adalah tahun paling underrated dalam sejarah musik modern, kalau tidak pantas disejajarkan sebagai salah satu yang terbaik. Saya mengerti kalau era emas seperti 1967, 1969, 1971, 1973, 1979, 1991, 1994 dinobatkan penggemarnya masing-masing sebagai tahun terbaik karena memang masa-masa itu menghasilkan banyak sekali karya impresif. Tapi dengan semua pencapaian tersebut saya masih percaya diri bahwa 1999 sangat dapat layak bersaing.

Berikut Daftar yang Membuatmu Akan Merindukan 1999

Dalam konteks musik populer, daftar karya yang lalu-lalang di tangga lagu pada 1999 sangat variatif. Backstreet Boys, Christina Aguilera, dan Britney Spears tentu belum cukup. 1999 menawarkan No Scrubs, lagu terbaik TLC setelah Waterfalls sekaligus menepikan sejenak Destiny’s Child yang baru akan lepas landas. Melalui Believe yang walaupun dirilis di 1998, namun lagu ikonik Cher ini mendulang popularitasnya pada 1999.

I Drive Myself Crazy menjadi perkenalan NSYNC, sedangkan 98 Degrees lagi hangat-hangatnya. Celine Dion melanjutkan momentumnya melalui That’s the Way It Is. Spice Girls masih menebar pesona dengan Goodbye. Grup dance pop Vengaboys mengawali eksistensi mereka dengan We Like to Party. Sementara itu Kiss Me masih jadi lagu Sixpence None the Richer yang melekat di ingatan banyak orang. Sarah McLachlan masih terus dibayang-bayangi kesuksesan Angel. Stay the Same dari Joey McIntyre masih berkumandang di radio sampai sekarang dan untuk menutup paragraf ini, Back at One-nya Brian McKnight saya taruh saja di sini.

Christina Aguilera hanyalah salah satu komponen dalam invasi aroma latin selama 1999. Jennifer Lopez juga melepas album perdana dan If You Had My Love cuma jadi salah satu alasan mengapa banyak mata tertuju padanya. Ricky Martin akan selalu diingat dengan Livin ‘ La Vida Loca. Namun yang pantas menerima status spektakuler adalah orang Jerman keturunan Italia-Uganda bernama panggung Lou Bega yang memakai selimut musik latin dan sukses besar dengan Mambo No. 5. Siapa yang masih ingat dengan nama para wanita di bagian chorus-nya?

Setelah ketenaran grunge dan britpop pada awal dekade 90-an, rock harus mencari jalur lain untuk hinggap di telinga orang. Sejarah membuktikan bahwa jalan itu adalah elemen pop yang ringan dan tidak butuh waktu untuk mencernanya. Maka 1999 menawarkan hal tersebut dengan Smooth dari Carlos Santana dan Rob Thomas sebagai garda depan. Pearl Jam melunak dengan merilis Last Kiss. Lenny Kravitz menyisipkan rock di Fly Away dan American Woman. You Get What You Give masih menjadi lagu New Radicals yang disenangi banyak orang.  Ada Why Don’t You Get a Job dari The Offspring, Out of My Head oleh Fastball, All Star kepunyaan Smash Mouth, dan di 1999 pula Sugar Ray meluncurkan Every Morning.

Tapi rock pada 1999 tidak berhenti di situ. Mulai dari Blink 182, Limp Bizkit, Red Hot Chili Peppers, Foo Fighters, hingga The Flaming Lips merilis album-album keren di tahun yang sama. David Bowie bahkan tercatat dalam sejarah sebagai musisi profesional pertama yang menggunakan metode download untuk merilis albumnya, dua minggu sebelum  versi fisiknya keluar.

Dari wilayah hip hop, karya para artis ini tak kalah paripurna. Eminem memulai deretan kolaborasi brilian bersama Dr. Dre pada 1999 melalui The Slim Shady LP. Butuh tiga album untuk The Roots diperhitungkan sebagai band berbahaya sebelum akhirnya Things Fall Apart keluar pada Februari 1999. Ada alasan kenapa MF DOOM sangat dihormati oleh pelaku hip hop bawah tanah dan pembuktiannya sebagai rapper/produser dimulai pada 1999 melalui Operation: Doomsday.

Menjauh sedikit dari karya, 1999 juga merupakan tahun di mana Sean Parker dan Shawn Fanning meluncurkan Napster. Di sinilah awal hubungan mesra antara musik dan internet. Terima kasih, 1999.

Saya bisa melanjutkan alasan kenapa 1999 adalah tahun terbaik bagi musik dan untuk sementara saya mereduksinya menjadi; album pertama Sheila on 7 dan There Is Nothing Left to Lose, album terbaik yang pernah direkam Foo Fighters, band rock terbesar saat ini.

Untuk menutup kegilaan 1999, ada baiknya kamu mengintip apa yang diproduksi oleh industri “sebelah”. 1999 merupakan tahun di mana film-film ini dirilis: The Matrix, Fight Club, Magnolia, Being John Malkovich, American Beauty, The Blair Witch Project, Eyes Wide Shut, The Talented Mr. Ripley, The Green Mile, Notting Hill, Girl Interrupted, American Pie, The Sixth Sense, dan Three Kings.

Beat that!

Penulis: Simanjuntak

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...