CLASIFIED CULTURE | CONTEMPORARY | 28 Agustus 2019

Belajar Mandiri ala Musisi Indie

Sisi manajerial yang diformat sendiri hingga perilaku para booking agency menentukan keberlangsungan seorang seniman di luar negeri.

 

Perilakunya yang santun dan bicaranya yang begitu filosofis tercermin dari putri gitaris rock Elpamas, Totok Tewel yang kini di kenal dalam duo Filastine bersama Grey Filastine, musisi asal Barcelona, Spanyol. Ialah Nova Ruth, putri asli Malang yang sejak tahun 2007 silam menempa karier musik hip hopnya di Australia. Hingga pada 2009 saat musim gugur, ia bersama Grey pergi ke Eropa selama tiga bulan untuk berkarya bersama sampai sekarang. Tak kurang dari 100 jadwal manggung mereka tunaikan setiap tahunnya di berbagai benua. 

Pertemuan meeka bermula pada akhir tahun 2008 ketika Grey datang ke Indonesia untuk singgah sementara sebelum ke Australia. Lima tahun sebelumnya, Nova yang masih bergabung bersama Twin Sistsa menelurkan album tahun 2003. Ada seorang warga Australia yang datang ke Malang dan membeli beli kasetnya tersebut. Lantas album tersebut diputar di Australia, akhirnya ia berkesempatan untuk berkarya di sana. 

Kemudian pada April 2009 Nova memutuskan untuk mencoba menjadi supporting act untuk tur Grey di Jepang selama dua minggu. Mereka mulai saling berkenalan lebih dekat sebagai rekan berkarya. Karena saya bukan tipikal wanita yang ribet, sepertinya Grey suka karena cocok untuk diajak traveling bermusik bersama. 

BERAGAM SIASAT

Ternyata hasil dari ketekunan Nova sejak tahun 2000 menuai hasilnya. Sebelum ke Australia Nova dikenal sangat American hiphop. Tapi sewaktu ke Australia justru ia merasa belum bertemu dengan identitas penampilannya. “Saya menyesal tidak menggunakan budaya Indonesia dalam karya-karya saya. Saya merasa malu dengan hal itu,” akunya. 

Karya pertama yang ia dengar pertama judulnya Fitnah, dinyanyikan dalam bahasa Indonesia oleh penyanyi America namanya Jessica Kenney. “Saya merasa seperti ‘ditampar’,” imbuhnya. Karya Filastine yang menggunakan suara Nova sedikitnya ada 4 lagu: Colony Collapse, Genjer-Genjer, Requien 432, dan Murka.

Menurut Nova tidak ada bedanya berkarya di Eropa, “kalau ada kesempatan di Indonesia ya kami mulai dari Indonesia. Saat ini kesempatan adanya di Eropa ya kami mulai dari sana,” katanya. 

Namun demikian ia meiliki kebijakan sendiri untuk mengatasi problema yang dihadapi ketika berkarya di luar negeri. Ada beragam siasat yang dilakukan demi mempertahankan eksistensi dari karya yang mereka ciptakan. 

“Kalau kami sedang di Indonesia kemudian ada festival di Eropa yang meminta kami main maka kami tolak karena untuk pergi ke sana dan balik lagi kami memikirkan emisi karbon yang dihasilkan dari pesawat,” ungkapnya yang memiliki misi tidak mau menjadi perusak lingkungan. Idealisme ini pun tertuang dalam setiap karya yang diciptakan. Kebanyakan berbicara soal lingkungan. 

Nova dan Grey pun sepakat untuk biasa mendedikasikan waktu saat berada di satu benua. Misalnya tiga bulan di Asia maka tidak akan ke Eropa dalam masa tersebut, begitu juga sebaliknya. Selain itu mereka juga selalu maksimalkan menggunaaan transportasi umum saat di Eropa, “kalau di Indoneisa memang jarang karena tidak semudah di sana. Di Eropa kami bawa 4 koper ya pakai kendaraan umum, pindah-pindah stasiun. Kalau tidak memungkinkan baru kami pakai kendaraan lain,” kisahnya. 

Kini ia dan Filastne sedang melakukan perjalanan musik dengan membuat Arka Kirani Project, sebuah proyek penampilan music dan multimedia mengapung dengan kapal layar yang membawa misi perubahan iklim. 

BERTAHAN HIDUP

Mereka berdua punya cara sendiri untuk bertahan hidup di luar musik. Pendapatan dari musik sudah dapat dipastikan tidak mencukupi biaya hidup masing-masing personil. Karena biasanya pendapatan yang dihasilkan langsung dipakai untuk membeli peralatan yang mendukung dan menyempurnakan penampilan mereka. 

“Untuk keseharian, musik tidak bisa diandalkan,” ujar Nova. Tapi mereka punya semacam sistem penghitungan. “Kami hitung dulu ada berapa gigs di tiap area. Seperti di Eropa kami tunggu seperti tiga bulan, jauh sebelumnya kami sudah terima booking dulu.

Di jalan kami bertahan dari jualan marchendise. Grey punya bisnis taksi, dia dulu supir taksi. Kalau saya punya cafe. Kadang saya bekerja untuk LSM sebagai desainer, trainer, atau apapun yang berhubungan dengan seni dan aktivisme,” ungkapnya.
<!--[endif]-->

Belum lagi untuk berkarya di Eropa, ada pajak pendapatan yang harus dibayar. Baru-baru ini mendapat solusi dari setiap permasalah yang kerap dihadapi soal pembayaran pajak yang dianggap tidak adil untuk seniman. Kini ia dikontrak oleh salah satu booking agency di Eropa yang mau mengurusi pembayaran pajak agar tidak membengkak. 

“Selama bertahun-tahun harus sembunyi, karena tidak masuk akal. Kenapa seniman Indonesia yang dipanggil ke Eropa harus bayar sama dengan seperti musisi di sana, Jadi musisi kan pendapatannya tidak sebanyak dengan pajak yang harus dibayarkan dan dikenakan kepada musisi Indonesia. Misalnya 500 euro, 10% masuk ke booking agency, pajaknya tanggung sendiri sekitar 10%, belum akomodasi dan tiket pesawat. Lalu misalkan kami pakai lighting engineer dari Prancis, itu pajaknya 100% dari bayaran yang dia dapat harus dibayar oleh kami juga sebagai yang merekrut karena kami senimannya,” keluhnya. 

Ia juga menuturkan sebagai seniman yang barasal dari negara lain, dirinya tidak dapat tanpa menikmati layanan kesehatan di sana. Padahal pajak sudah dibayar olehnya. “Booking agency dimanapun sedang membicarakan soal ketidak adilan ini, pajak yang besar sekali. Ini harus dibenahi agar kami tidak sulit untuk berkarya. Kami bertahan karena ada cara lain, seperti menjual merchendise,” terangnya. 

Menurut kisah Nova, White Shoes and The Couples Company ketika ke Amerika juga membayar 2000 USD untuk pajak. Mereka tur dari Selatan ke Barat dan hanya dibayar 100 USD saja karena hanya showcase. Akomodasi dan tiket yang mencapai 1500-2000 USD mereka bayar sendiri. 

“Kalau satu band enak bisa bayar bersama pajaknya, sementara saya yang hanya berdua harus bayar 2000 USD bisa kebayang? Kecuali saya bisa membuktikan nanti kalau tidak ada pemasukan dari penjualan tiket, artinya penonton yang datang gratis menyaksikan penampilan saya,” jelasnya wanita yang kini membayar pajak kepada pemerintahan Prancis, negara tempat booking agency-nya berada. 

Sementara itu Angger yang sempat tergabung dalam publisher 120 Publishing yang berdomisili di Australia merasa diuntungkan. Ia mampu bertahan dengan sistem royalti yang benar. Publisher tersebut tergabung dalam APRA Publisher yang anggotanya mencapai 112 negara. 

“Dibayarkan per tiga bulan, saya bisa menghasilkan lewat lagu Beatdown dan Biggie Bounce sekitar 120.000 USD dalam jangka waktu dua tahun (2012-2014) saat high demand. Kalau lagi low demand, tiga bulan 6000-8000 USD. Semuanya dikerjakan publisher dan label,” kisah Angger. 

Dari pengalaman tur keliling dunia, menurut Nova setiap booking agency yang mengontraknya di setiap negara berkewajiban mengurusi visa mereka. Di dalamnya tercatat jelas festival apa saja yang mereka ikuti. Kalau ada satu saja yang bermasalah maka mereka akan mendapatkan masalah juga. “Jika saya hanya ditulis satu festival maka hanya bisa main satu kali saja. Jadi tertib memang,” puji Nova. 

Di antara keseriusan booking agency untuk mengurusi seniman dengan baik, tetap ada saja yang tidak mau tahu. Mereka hanya membayar dan mendatangkan artis dan menanggalkan semua kewajiban yang harus dikerjakan. Padahal para booing agency ini juga meraup untung dari kedatangan seniman di sebuah festival. Tidak terkecuali di Indonesia yang juga banyak mendatangkan artis luar negeri.

 

Penulis: Abhi

Editor: Fik

 


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...