CLASIFIED MUSIC | ORIGINS | 17 Agustus 2019

Death Vomit, Renjana Sang Legenda

Berbicara mengenai musik death metal di Yogyakarta tentu saja tak akan lepas dari sebuah band bernama Death Vomit.

Berbicara mengenai musik death metal di Yogyakarta tentu saja tak akan lepas dari sebuah band bernama Death Vomit. Band kelahiran tahun 1995 ini adalah darah daging death metal. Ia lahir, besar, dan tumbuh dalam pelukan genre musik metal yang ekstrim. Coba tanya ke setiap metalhead yang kalian temui mengenai band metal dari Yogyakarta, saya yakin mereka akan menyebutkan Death Vomit.

Coba kalian lihat sebuah konser di mana Death Vomit akan bermain. Sebelum Sofyan Hadi (vokal, gitar), Roy Agus (drum), dan Oki Haribowo (vocal, bas) naik panggung, para metalhead secara otomatis akan berteriak “Death Vomit, Death Vomit, Death Vomit!” hingga mereka muncul dan mengempur panggung. Band ini adalah legenda! Lantas, megapa nama Death Vomit begitu melegenda di kancah musik keras Indonesia khususnya di Yogyakarta?

Terdorong oleh pertanyaan tersebut, saya bertemu dengan Death Vomit tepat di hari ulang tahun mereka yang ke 24 pada 29 Juli 2019 di Rockstar Studio, Yogyakarta. Mereka tengah dalam proses penggarapan album penuh keempat mereka. Sampai di sana saya disambut oleh Sofyan, Roy, dan Oki. Ketiganya sedang berisitirahat dari sesi rekaman hari itu. Beberapa kru Death Vomit juga hadir di situ. Kegarangan mereka di atas panggung tak nampak. Mereka cukup tegang dalam proses rekaman yang sudah berlangsung kurang lebih tiga minggu itu. Meski begitu, keramahan mereka menyambut saya. Rupanya, saat itu Oki harus segera kembali ke proses rekaman. Ia dan Roy mempersilahkan saya untuk wawancara dengan Sofyan Hadi, sang gitaris dan vokalis, yang ditemani oleh Dimex, road manager Death Vomit. Bertemankan kopi dan rokok, kami pun mulai berbincang.

 

Warisan

“Kami sama-sama punya kesenangan mendengarkan musik death metal. Dari hobi yang sama lantas kami ingin mengapresiasi musik yang kami dengarkan itu. Sampai sekarang kami menganggap death metal itu sebagai hobi yang diseriusi”, kata Sofyan menjawab pertanyaan saya tentang musik death metal.

Death Vomit menjadi muara bagi hobi mereka itu. Sejak 1995, DeVo, sebutan Death Vomit, telah menelurkan tiga album penuh bertajuk Eternally Deprecated (1999), The Prophecy (2006), dan Forging a Legacy (2014). Mereka juga merilis DVD bertajuk Flames of Hate. Ketiga album dan DVD itu merupakan hasil kerja keras dan berbagai cobaan yang dihadapi oleh DeVo. Perubahan formasi band hingga kepergian Agung, vokalis mereka, yang meninggal pada 2001 membuat DeVo vakum cukup lama.

“Waktu itu ya kami main juga jarang, latihan jarang, berita di media juga enggak ada. Banyak teman-teman yang mengira DeVo ini sudah vakum atau bahkan mau bubar,” ujar Sofyan.

Hal itu kemudian membuat masing-masing personel DeVo sadar bahwa mereka memiliki band. Mereka kemudian mencari celah di tengah kesibukan mereka masing-masing untuk membuat album. Terlebih lagi, pesan dari Agung yang mereka ketahui belakangan membuat mereka tidak ingin DeVo bubar begitu saja. Pesan itu Agung sampaikan kepada Narko, teknisi suara DeVo kala itu, ketika DeVo manggung di tahun 2000, setahun sebelum Agung meninggal.

“Waktu itu Agung berpesan kepada Kang Narko ‘Kang, tolong teman-teman dirawat ya, jangan sampai bubar’,” kisah Sofyan.

Waktu itu para personel DeVo tidak mengetahui pesan tersebut sebab Agung hanya mengatakannya kepada Narko. Setelah Agung meninggal, barulah Kang Narko menyampaikan pesan itu kepada para personel DeVo yang lain.

“Pesan itu juga yang jadi alasan kami buat terus. Semua album kami dedikasikan untuk Agung. Bahkan album terkahir kami namai Forging a Legacy yang artinya menempa warisan. Death Vomit adalah warisan dari Agung yang harus kita jalankan terus,” ujar Sofyan.

Toh, DeVo udah jadi bagian dari hidup kami hingga kini,” tambahnya.

Sebuah warisan itulah yang kemudian membawa DeVo menjelajahi belantika musik death metal baik itu dalam negeri maupun luar negeri.

 

“Kalian seminggu latihan berapa kali?”

Kalimat tanya itu jadi lucu sekaligus menarik bagi perjalanan karir musik DeVo. Tak hanya tampil di panggung tanah air, Sofyan, Oki, dan Roy beberapa kali juga tampil di luar negeri. Pengalaman bermain di luar negeri itulah yang memunculkan pertanyaan “kalian seminggu latihan berapa kali?” Pertanyaan itu ketika mereka bermain di Australia tahun 2010. Kala itu mereka bermain bersama Napalm Death dan Dying Fetus, nama-nama tenar di kancah metal dunia.  Menjadi menarik karena hal itu menandakan bahwa DeVo mendapatkan apresiasi dari penonton dan menjadi lucu karena jawaban DeVo membuat para penonton itu tercengang tak percaya karena mereka kagum bahwa DeVo bermain apik di panggung.

“Yang lucu itu perbedaan postur tubuh. Mereka pasti mikir, ‘ini kecil-kecil gini musik gimana yang mereka mainkan?’ Setelah kami main, mereka salut dan ada kemudian salah satu personel band lain nanya ‘kalian bikin lagu kayak gitu dan tampil bagus kayak gitu, latihan seminggu berapa kali?’ Ya kami jawab aja tidak sering latihan dan paling pas mau manggung aja baru rutin ha ha ha,” seloroh Sofyan disusul tawanya.

Menurut Sofyan, si personel itu kaget sampai memanggil teman-temannya yang tak percaya ketika mendengar jawaban DeVo. Namun, bukan berarti mereka menjadi jumawa atas apresiasi itu. Sofyan mengungkapkan bahwa mereka juga belajar banyak dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam tur di Australia kala itu.

“Ya senang karena diapresiasi, tapi dari situ kami belajar soal profesionalitas. Bagaimana kita harus tepat waktu untuk check line, tepat dalam durasi tampil. Lah pas waktu itu aja Napalm Death sempat dimarahi oleh yang bikin acara karena waktunya udah mepet ketika check line dan harus segera manggung,” kisah Sofyan.

“Itu kemudian yang kami selalu coba terapkan ketika tampil di panggung-panggung lain baik itu di dalam negeri maupun luar negeri,” imbuhnya.

Bukan hanya soal profesionalitas saja, Sofyan menuturkan bahwa dari pengalamannya bersama DeVo manggung di luar negeri juga membawa pada sebuah kesimpulan unik: Jadi anak death metal itu harus mandiri dan tidak boleh cengeng! Sofyan pun menjelaskan alasannya. Menurutnya, sikap mandiri dan tidak boleh cengeng itu terlihat jelas ketika di panggung, terlebih ketika para penonton belum teralu mengenal mereka.

“Ketika tur di Australia itu, antar band yang sama-sama main ya ngurus urusannya masing-masing. Ketika kami perform dan mereka suka, mereka baru mengeluarkan apresiasinya dan kemudian bisa ngobrol lebih lanjut. Nah, itu kan mental kami benar-benar diuji. Jadi, enggak boleh cengeng,” ujarnya.

“Kamu udah milih death metal. Harus benar-benar total, enggak boleh cengeng. Hadapi apapaun resikonya wong itu jalan hidup yang kamu pilih kok,” imbuh Sofyan.

 

Renjana

Dari sebuah warisan dan kemudian ditempa oleh pengalaman-pengalaman itu, DeVo benar-benar menjadi sebuah band yang menjadi legenda terutama di kancah musik metal tanah air. Saya kemudian melanjutkan perbincangan dengan Sofyan dan Dimex dengan pertanyaan yang di awal ingin saya ketahui jawabnya: mengapa mereka begitu melegenda, mengapa mereka terus menginjak gas death metal mereka dan apa kepuasan yang DeVo peroleh dari perjalanan itu? Perbincangan itu membawa saya pada satu jawaban: renjana atau passion dari tubuh DeVo sendiri yang membuat mereka tak mengendurkan langkah meski diterpa berbagai ujian dalam 24 tahun karir mereka.

Lha death metal itu hobi kami dan jadi passion buat kami. Itu bisa merambah ke pola pikir dan attitude juga. Misal saya, metal kan identiknya dengan warna hitam, terussaya juga suka rokok yang warnanya hitam, ha ha ha,” ujar Sofyan.

Sofyan menuturkan bahwa ketika suatu hal menjadi sebuah hobi dan passion, ada hal yang perlu disadari bahwa uang bukan jaminan utama kepuasan mereka dalam bermain musik death metal.

“Kalau jadi duit ya syukur, kalau enggak ya enggak apa-apa. Kan kita senang-senang aja. Itu yang perlu disadari ketika ketika memiliki sebuah hobi,” katanya.

Bagi Sofyan, Oki, dan Roy, DeVo menjadi sebuah hal yang lebih dari sekedar uang semata. Hal itulah, bagi saya, yang membuat DeVo menjadi sebuah legenda dan inspirasi bagi pegiat musik metal di tanah air. Ada semangat, passion, dan juga ketulusan ketika mereka semua memilih jalur hidup bernama death metal. Ini pula yang disetujui oleh Dimex, road manager mereka.

“Kalau di Jogja, DeVo ini inspirasi. Istilah dalam bahasa jawanya, mereka ini babad alas. Mereka yang membuka pintu buat band-band death metal lain, terutama di Yogyakarta,” ujarnya.

Muara dari semua itu tentu saja adalah renjana atau passion yang mereka miliki. Bagi Sofyan sendiri, DeVo adalah sarana baginya untuk mendapat kepuasan batin ketika mereka bisa memeiliki kesempatan untuk memainkan musik yang mereka senangi.

“Klimaks kami ya puas secara batin karena kami senang dengan musik ini. Klimaksnya ya ketika kita main band. Death Vomit ini kayak pacar kami. Media orgasme kami. Mungkin juga engga dapat dinilai dengan materi. Memainkan saja kami sudah membuat kami takjub. Sebuah anugerah juga ketika musik kami diapresiasi. Selama kita bisa jalan terus ya kenapa enggak,” terangnya.

Toh, kalau punya passion dan dipendam saja, kan rasanya enggak enak, to?” tambah Sofyan.

 

Penulis: Yulianus Febriarko

Editor: Fik


Photography By : Dok. Pribadi

TAGGED :
Please wait...