CLASIFIED ARTS | SHOWCASE | 06 Agustus 2019

Hardcore Blues di Rumah Api

Eyehategod adalah band sludge metal asal Amerika Serikat, tepatnya New Orleans, Louisiana.

Eyehategod adalah band sludgemetal asal Amerika Serikat,tepatnya New Orleans, Louisiana. Diisi oleh vokalis Mike IX Williams dan Jimmy Bower (Crowbar, Corrosion of Conformity, Down, Superjoint Ritual) sebagai anggota orisinal yang masih bertahan hingga sekarang. Keduanya membentuk band ini pas di tanggal sakral jemaat mariyuana, 4-20 1988 bersama drummer Joey Lacaze. 

Eyehategod memainkan rilis debutnya In The Name Of Sufferingdi tahun 1990. Eyehategod termasuk salah satu pionir sludge metal selain Buzzov*en, Noothgrush, Cavity, dan early Neurosis. Sebenarnya ada The Melvins yang mengawali sludge, tapi mereka berada di scene yang berbeda. 

Pada akhirnya, Eyehategod memberi cetak biru genre doom dan hardcore-punk menjadi satu karakteristik, hingga memancing pengamat untuk mencetuskan istilah sludge dengan tipikal pengaruh Eyehategod secara signifikan. Penggabungan antara musik hardcore-punk dan doommetal yang dikemas secara kontras dari segi materi dengan perbedaan tempo yang seringkali berubah dari cepat ke lambat, atau sebaliknya. Erangan vokal ganas diiringi riff blues yang kental menyiratkan keimanan Black Sabbath yang kuat, dengan selipan style Discharge dan Black Flag. 

Saya pertama kali mendengarkan sludge lewat album Dopesick milik Eyehategod. Tidak langsung suka dan “menyangkut” begitu saja. Justru saya bingung, banyak pertanyaan di kepala ketika pertama kali mendengarkan nomor My Name is God (I Hate You), trek pertama di album tersebut. “Musik apa sih, musik ini? Bagaimana mereka bisa sampai menciptakan musik yang sedepresif ini?,” pikir saya. 

Tapi setelah beberapa kali mendengarkannya lagi ditambah substansi yang mendukung indera pendengaran agar lebih bisa memahami musik mereka, saya begitu jatuh cinta dengan sejumlah riffgitar ciptaan Jimmy Bower yang terbungkus gebukan drum Joey Lacaze. 

Kelas Eyehategod tergolong underrated sehingga peminatnya berkembang perlahan. Tidak sekejap masif. Biasanya yang suka sludge adalah orang-orang yang akrab dengan Black Sabbath. 

Di kancah lokal Indonesia sendiri masih langka yang memainkan sludge. Saya sendiri bermain gitar di band sludge bernama Godplant. Sejawat lainnya mungkin bisa disebutkan: Oath yang main sludge dengan arah seperti Noothgrush dan Corrupted. Lalu SSSLOTHHH, band asal Bandung yang arahnya lebih ke Neurosis dengan sedikit terasa unsur avant-garde yang diproduksi efek gitar modulasi yang tidak konvensional. Juga Cyclops dari Bali yang pernah berkolaborasi dengan Godplant membawakan nomor Dixie Whiskey milik Eyehategod. Kemudian ada Nagasari dari Bandung. 

Ketika mereka bermainpun, apresiasi terbesar audiensdatang dari para teman dekat. Jarang sekali orang yang memang benar-benar penasaran dari awal tentang sludge dan datang sendiri – bahkan pun secara berkelompok. Dan harus diakui band-band sludge lokal tersebut yang saya sebut tadi masih mentah, belum sampai pada titik bisa dianggap sebagai band sludge murni. Di Indonesia, mungkin sludge tidak memiliki scene tersendiri, biasanya kami tergabung di dalam scene hardcore punk. 

Menyaksikan Eyehategod

Tidak pernah terlintas dikepala saya akan mendapat kesempatan menyaksikan Eyehategod.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Eyehategod resmi menyantumkan Asia dalam tur 2019 mereka yang diberi titel 4 strikes... From The Elementary To The Penitentiary. Info pertama yang saya dapatkan dari Arian13, vokalis Seringai. Sempat terdengar dari tembok underground kalau ada beberapa pihak yang berminat menarik mereka ke Indonesia, tapi harapan tersebut sirna setelah jadwal lengkap resmi keluar: hanya datang ke Kuala Lumpur dan Singapura. 

Dengan semangat puncak, saya dan segenap tim lengkap Godplant berangkat ke Kuala Lumpur. Ikut bersama kami Benarivo dari Morgensoll dan Ganis Ilman dari Kultus. Di poster konsernya Eyehategod memampang jelas wajah Charles Manson, tertera harga tiket yang sangat murah sebesar RM 60 atau Rp. 210.000. 

Beberapa band yang akan menjadi pembuka di antaranya adalah Satyagraha, The Dumpies, Speedwitches dan Abrasion. Venue tertulis “Zero Nowhere” alias masih dirahasiakan. Dengan sistem seperti itu, ada firasat sepertinya tempatnya tidak terlalu besar, dan hanya akan dikemas serupa gigs di bar atau mungkin seperti Rossi Musik di Jakarta, yang pasti lebih seru dan intim. Tidak hanya itu, ternyata penjualan tiket juga dibatasi – hanya dijatah 200 lembar dan tidak dijual langsung. 

Seketika email masuk dari pihak penyelenggara dan memberikan informasi kalau Eyehategod akan bermain di tempat yang bernama Rumah Api yang biasa dipakai untuk gig punk. Hal pertama yang dilakukan sesampainya di Kuala Lumpur adalah mengunjungi salah satu toko rekaman terbaik di sana, Tandang Store. Uniknya, banyak juga rilisan merchandise bootleg milik band Indonesia. 

Selanjutnya kami menghabiskan sebotol wiski dan berangkat menuju pemujaan. Rumah Api terletak di lantai 18 sebuah gedung tinggi, tanpa plang. Cukup terselubung karena pintu masuknya sebuah pintu studio, lengkap dengan acak-acakan stiker band di sekujur dinding. 

Abrasion dari Singapura tengah bermain. Duo grindcore/crust-punk, atau sering disebut power violence. Adu badan dan berselancar di atas kepala orang-orang. Saya melihat beberapa teman Indonesia yang juga hadir di sana; wartawan Dedi Yondra dan dua drummer, Jerry Norr Frygt dan Korong Rakyu, yang pernah sepanggung dengan Godplant. Lalu menengok lapak-lapak punk. Laporan pandangan mata melihat banyak rilisan Indonesia; Suri, Goads, Mooner, Senyawa, sampai Monkey To Millionaire. 

Tidak ada larangan merokok di Rumah Api.Saya mencium bau ganja di sana-sini. Pun aroma khusus dari Buddha Stick. Sesuatu yang memang sudah seharusnya dilakukan di konser Eyehategod. Dan yang menyenangkannya Rumah Api ternyata memiliki “kekebalan hukum” yang khusus, mungkin seperti klab-klab disko di Jakarta Barat yang menjamin keamanan pengunjungnya untuk mengonsumsi apa saja, asal tidak dibawa keluar. 

Di saat itulah Mike Williams, vokalis Eyehategod tampak sedang berbincang dengan para fansnya, ramah sambil menenteng gelas plastik. Hal tersebut sekaligus menggugurkan persepsi media-media metal Barat yang mengatakan Williams acuh terhadap fans. Kami berfoto dengannya, tapi tak sempat ikut berbincang karena Eyehategod sudah bersiap dalam hitungan mundur menuju penebusan. 

Sebuah teriakan, “Pukimay!” keluar dari seorang Taiwan yang berada di barisan depan penonton begitu dia tahu saya orang Indonesia. Dalam sekejap Aaron Hill telah duduk di kursi drum, disusul bassis Gary Mader menyalakan amplifier. Kemudian Jimmy Bower datang dari arah kanan dan berhenti tepat di depan saya, di sebelah kiri panggung. Mata saya tidak melepasnya. Inilah pria yang selama ini menjadi panutan.Bower menenteng peti gitarnya sendiri. Begitu dikeluarkan langsung menyolokkan jack ke amplifier, dibantu seorang kru lokal. 

Biasanya dia menggunakan Randall, tapi kali ini Marshall. Sempat timbul keraguan apakah sound gitarnya akan keluar maksimal? Tiba-tiba saja sosok Williams sudah memenuhi pandangan saya. Gelas plastiknya masih menempel di tangan. Dia mengangguk-anggukkan kepala mengikuti FOH yang memutar sebuah lagu milik  Cypress Hill, “I wanna get high, so high”. Tangannya mengayun meminta semangat kami untuk ikut menyanyikannya. Keraguan terhadap suara gitar Bower kembali timbul, mimik wajahnya tidak bisa membohongi momen ketika dia menggenjreng gitarnya untuk pertama kali . . . tampak tidak puas. 

FOH memutar lagu Weedeater selanjutnya dan Williams segera berseru, “Fuck Weedeater!”. Lalu mulai membentak ke arah penonton, “Change the music to Cypress Hill again!”.

Nyaringfeedback gitar Bower tercetak panjang memancing kerusuhan pertama yang akan terjadi di Rumah Api. Penonton tengah saling dorong sesaat intro nomor Lack of Almost Everythingdimainkan. Tapi situasi panas yang siap pecah kemudian teredam kembali setelah gitar Bower kehilangan suara. Masalah seperti itu berulang sampai tiga kali di lagu pertama Eyehategod. 

Ketidakhadiran kru profesional membuat konser tertunda cukup lama. Amplifier itu adalah fasilitas dari panitia, entah itu telah sesuai dengan rider Eyehategod atau tidak, tapi saya bisa melihat terdapat banyak tempelan selotip pada kenop-kenopnya. “We’re all gonna die,” cetus Williams coba tetap memansakan suasana. Dan ketika semua masalah akhirnya berhasil dibereskan, Lack of Almost Everything disambut kekacauan massa kelas berat. 

Eyehategod selalu mampu menggerakan naluri kerusuhan setiap fansnya, tidak peduli yang sedang dimainkan adalah riff doom yang menyeret lambat, semua orang yang berada di saf terdepan panggung mereka pasti menggila. Sifat manik depresif telah mengambil alih, terlebih bila repertoar malam itu tersusun sebangsat ini: Paris Motel Sickness, Agitation/Propaganda, Take As Needed For Pain, Medicine Nose, Methamphetamine, hingga dua bagian Sisterfucker adalah mimpi seorang stoner yang terbeli. 

Eyehategod banyak melakukan improvisasi, mereka menolak untuk memainkan lagu-lagunya persis seperti di album, melainkan membedahnya. Nomor Blank yang banjir feedback di tengah jeda kosongnya ditabrakkan dengan Shoplift menjadi contohnya. Di tengah keringat kerumunan saya mampu melihat satu per satu peluh yang bersarang di depan; flanel lepek Bower, Williams membuka jaketnya dan kepengapan yang melanda Hill dan Mader. Kata “api” di Rumah Api benar-benar berlaku secara literal, terbakar juga membakar.

Nomor wajib New Orleans is The New Vietnam meluncur keluar. Kita bisa mendengar bagan patah-patah karakter sludge Eyehategod. Nuansa doom yang menyerang kelam hingga mencapai lagu terakhir, Peace Thru War (Thru Peace and War). Seusainya tidak ada yang berani permintaan encore. Konser telah selesai tanpa basa basi, tanpa pretensi bintang rock. Para anggota Eyehategod pun membereskan sendiri instrumennya masing-masing. Saya salut menyaksikan kelakuan orang-orang itu, tetap membumi dan mandiri. Menolak pengidolaan. Menghajar apapun situasi panggung yang tengah mereka hadapi, besar, kecil, festival, gorong-gorong, gelanggang olahraga, toko rekaman, saluran bawah tanah atau bahkan gigs Rumah Api yang menyediakan fasilitas tata suara buruk. 

The Bower Power

Keadaan pasca konser menyajikan pemandangan absurd, Jimmy Bower ingin meninju seorang penonton. Sepanjang konser tadi dia bermain dengan amplifier yang buruk yang sukses membangkitkan temperamen buruk New Orleans-nya. 

Ketika itu saya sedang berada persis di depannya, menyaksikannya melipat kabel-kabel gitar dan memasukkannya sendiri ke dalam peti. Saya bisa lihat raut kekesalan bergelantungan menyelimuti mukanya. Saya pun menahan diri keinginan untuk meminta foto. Tapi kemudian beberapa fans yang nekat memintanya ditolak Bower secara halus. 

“Not right now!” katanya. Setiap permintaan foto ditolaknya mentah-mentah. Bower hanya ingin segera pergi ke belakang panggung. Tapi lagi-lagi dia dicegat beberapa fans nekat peminta foto. “I said, not right now!” untuk yang kali itu dia kehilangan sabar. Bentakan barusan segera diikuti laju pukulan tangan kanannya. Untung saja bocah itu punya reflek bagus sehingga hidungnya luput dari tinju The Bower Power, dan lari ketakutan. Tentu saja dengan sendirinya saya telah mengurung niat meminta kenang-kenangan foto.?

Quo Vadis Sludge Metal

Kancah sludge di Kuala Lumpur tak ubahnya seperti Jakarta. Seorang kawan asli sana mengaku kalau mereka sebenarnya kekurangan populasi band sludge. Dan kebanyakan para band tersebut hanya berputar-putar di lingkaran yang itu-itu saja. Tidak bisa berkembang. Namun anak-anak dari Tandang Store menyatakan kuatnya akar hardcore punk sebagai basis perkembangan kancah underground Malaysia hari ini. 

Merekalah yang kemudian menjadi gerombolan yang paling apresiatif terhadap sludge metal.Kawan itu juga sempat menceritakan pertunjukan tempo hari Oath, punggawa sludge asal Bandung, yang dipenuhi rata-rata oleh anak hardcore-punk. 

Pengalaman Godplant di Jakarta kurang lebih senasib. Para penonton kami adalah segmentasi dari teman-teman kami sendiri. Masih banyak orang-orang yang belum mengerti seperti apa bentuk sejati sludge metal sebagai genre musik. Jangankan di Jakarta, di dunia pun suku kami tergolong langka. Tidak banyak spesiesnya. Selain Eyehategod, saya bisa menyebut nama-nama macam Buzzov*en, Iron Monkey sampai Cavity merupakan cetak biru bagi pencarian karakter sludge metalyang sesungguhnya. 

Sludge merupakan suku metal yang sulit dinikmati pun dimainkan. Tempo musiknya tidak beraturan, dapat berpindah-pindah secara abstrak, misal dari ketukan cepat punk langsung menurun lamban ke doom. Karena itulah dibutuhkan teknik mengomposisi yang tepat. Yang pertama perlu dititikberatkan adalah sound. Porsi suara sludge berada di tengah antara distorsi dan fuzz. 

Setelahnya baru kemudian urusan materi lagu. Menggabungkan punk dan doom secara mentah saja tidak cukup untuk sludge metal. Contoh paling sempurnanya adalah semua lagu yang pernah ditulis Eyehategod. Saya menyebutnya “broken blues”. “Bagaimana caranya membuat bagian doom dari sludge yang benar-benar heavy tapi tidak juga membuat orang menjadi “too stoned” sehingga masih memacu adrenalin, sampai bagian punk yang diselipkan membuat orang-orang terpantik mengacak-acak circle pit?”

Itulah quo vadis sludge metal.

 

Penulis: Oyoy ‘Godplant’ 

Editor: Rio / Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...