CLASIFIED CULTURE | JOURNEY | 28 Agustus 2019

Jangan Sirna Musik Indonesia

Sebelum semakin banyak yang hilang tak tentu rimbanya, karya musik Indonesia dapat diselamatkan lewat teknologi digitalisasi yang rekam jejaknya dapat dipantau.

Sejak masuknya piringan hitam ke Indonesia di awal abad ke 20, para musisi saat itu menggunakan media penyimpanan suara analog yang terdiri dari piringan pipih dengan alur spiral tertulis dan termodulasi untuk merekam karya-karya mereka. Dari sana terlahir cikal bakal musik populer Indonesia yang menjadi sejarah dan identitas bangsa. 

Kini keberadaanya menjelma menjadi barang langka yang terus diburu para kolektor. Bahkan tak sedikit justru bukan dimiliki orang Indonesia. Lantas kemana karya-karya itu berlabuh? Hampir seluruh industri rekaman yang memproduksinya pun dapat dipastikan sudah tidak beroperasi lagi. Sehingga master track atau materi asli rekam tidak dapat ditelusuri keberadaannya. Rekam jejak para musisi dan karyanya pun menguap begitu saja. 

Hanya sebagian kecil master track yang masih dimiliki seperti perusahaan rekaman milik negara; Lokananta, Solo yang memproduksi lagu-lagu daerah dan tradisional dan kini masih beroperasi. Lalu ada Remaco dan Irama Records yang beridiri sekitar awal tahun 50’an yang sudah gulung tikar. 

“Jangankan tahun 70’an, kaset karya saya tahun 80 bersama Krakatau saja sudah tidak ada masternya karena banyak perusahaan rekaman yang sudah tutup dan mereka pegang semua master track-nya, tidak tahu dimana keberadaannya. Harusnya bisa dijadikan master kembali dalam bentuk digital dengan kualitas yang asli,” keluh Dwiki Dharmawan. 

Keberadaan perusahaan rekaman di Indonesia sendiri, seperti yang tertulis dalam buku karangan Yapi Tambayong, Ensiklopedia Musik jilid 2, menyebutkan bahwa sekitar dekade 1920-an perusahaan rekaman piringan hitam Tio Tek Hoang di Pasar Baroe, Batavia sudah beroperasi. 

GERAKAN PENGARSIPAN

Melihat kondisi tersebut, ada sekolompok anak muda sejak tahun 1997 rajin mengumpulkan piringan hitam karya musisi Indonesia. Kini mereka menamakan dirinya Irama Nusantara. Sekawanan yang berkuliah di Bandung ini memang hobi mengoleksi piringan hitam, tapi ada misi terlahir dari hobi mereka yaitu menjadi inisiator gerakan pengarsipan untuk memustakakan piringan hitam musisi Indonesia. 

Menurut salah satu penggagas Irama Nusantara, David Tarigan, minimnya pengarsipan saat itu dikarenakan para pekerja label rekaman tidak memiliki aturan kerja yang baik, “mereka bekerja tanpa ada penataan perusahaan serta hukum yang mengaturnya dan masih bersifat tradisional, saya pernah lihat kwitansi dan perjanjian antara artis dan perusahaan rekaman yang masih tertulis tangan, bahkan ada yang hanya dibayar nasi bungkus,” ungkapnya. 

Terkait aturan kerja, menurut Dwiki, perusahaan rekaman di luar negeri justru sadar akan pentingnya sebuah pengarsipan. Ia menuturkan penyanyi Natalie Cole berhasil merekam kembali lagu sang ayah Nat King Cole yang diduetkan dengannya karena memiliki master track lagu sang ayah. “Jika ada pengarsipan yang baik, karya pun dapat dibuat kembali dengan berbagai eksplorasi dan menciptakan sejarah musik baru lagi untuk Indonesia,” tambahnya. 

Memasuki era digitalisasi, Irama Nusantara bertekad untuk mendigitalkan musik Indonesia yang berhasil mereka dapat; meminjam ataupun berhasil dibeli dari berbagai sumber. Sampai bulan Desember ini, sebanyak 900 album musisi Indonesia berhasil dipustakakan secara digital dalam sebuah web iramanusantara.org. Mereka menargetkan 1000 album akan berhasil didigitalkan akhir tahun ini dan masih akan berlanjut mejadi 2200 album untuk tahun depan. 

Apa yang dilakukan Irama Nusantara seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dengan penyelamatan sejarah musik Indonesia di dalamnya. 

Alih-alih melakukan digitalisasi, justru banyak pihak yang menyalahgunakan teknologi ini bukan untuk pengarsipan dan referensi generasi selanjutnya melainkan mengkomersilkan lagu-lagu tersebut tanpa seizin pemiliknya. 

Irama Nusantara bersikap tegas untuk hal ini, mereka memproteksi perpustakaan musik digitalya untuk pengunduhan. Perpustakaan musik digital yang nantinya akan menjadi sentral musik pop Indonesia berbagai zamanini hanya menyediakan layanan streaming saja. Bahkan untuk halaman muka dari albumnya pun, pengunjung web tidak diperkenankan untuk mereplikanya. 

“Setiap hari ada 10-15 email masuk yang mau membeli lagu dan cover albumnya di Irama Nusantara. Kami tidak memiliki wewenang untuk itu. Biasanya kami temukan langsung dengan sanak famili dari artis tersebut dan mereka bernegosiasi langsung. Kami ingin membuang kebiasaan buruk kita yang serba dimudahkan di era digital ini. Mari kita apresiasi karya tersebut dengan sebaik-baiknya,” pungkas Blas Christoforus yang juga pendiri Irama Nusantara.

 

Penulis: Abhi

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...