CLASIFIED CULTURE | CONTEMPORARY | 13 Agustus 2019

Memaknai Ulang Praktik, Ruang dan Proses Berkesenian dalam FKY 2019

Festival Kebudayaan Yogyakarta bisa dibilang sudah menjadi hajatan tahunan dalam ruang kesenian Jogja.

Festival Kebudayaan Yogyakarta bisa dibilang sudah menjadi hajatan tahunan dalam ruang kesenian Jogja. Penyelenggaraannya secara rutin dari tahun ke tahun menunjukan konsistensinya dalam menghidupkan kembali proses-proses kreatif yang ada. Pada gelarannya tahun 2019 ini, Festival Kebudayaan Yogyakarta (disingkat FKY) mengangkat tema “Mulanira”. Diambil dari bahasa Jawa yang bisa diartikan dengan “kembali ke asal mulanya”.

Penyelenggaraannya mulai tanggal 4 sampai dengan 21 Juli 2019 mengambil tempat di beberapa lokasi terpisah. Beberapa tempat yang sarat nilai sejarah, seperti gedung Sonobudoyo, museum Dewantara Kirti Griya dan kompleks Alun-alun Kidul menjadi lokasi bagi tiga pokok acara yang digelar. Ketiganya adalah Wirama, Wiraga dan Wirasa.

Wirama, Wiraga, dan Wirasa adalah konsep pendidikan tari yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Ketiga konsep ini kemudian dimaknai kembali dalam gelaran FKY 2019. Wirama dimaknai kembali dalam konteks praktik dan pemaknaan seni, Wiraga dalam konteks pertemuan budaya “tradisi” dan “massa”, sedangkan Wirasa dalam konteks proses belajar melalui seni.

Konsep Wirama ditransformasikan menjadi sebuah pameran, khususnya bidang Seni Rupa. Pameran ini ditujukan untuk kembali menyorot seniman-seniman yang dianggap senior namun dirasa kurang terakomodir. Meskipun demikian, pada praktiknya beberapa seniman muda tetap dilibatkan.

“Wirama itu pameran seni rupa, konsepnya mengubah dari yang sebelumnya platform perupa muda jadi lebih mewadahi seniman senior khususnya Jogja. Dengan anggapan kalo justru yang sekarang kurang terakomodir. Meskipun pemilihan senimannya kemarin juga ngelibatin seniman-seniman muda,”ungkap Els, salah seorang staf program pameran seni rupa FKY 2019.

Program utama lainnya, Wiraga, juga ditransformasikan dalam bentuk pameran, yaitu pameran instalasi. Secara sekilas, program Wirama dan Wiraga memiliki irisan yang sangat tipis. Namun ternyata keduanya memiliki orientasi dasar yang cukup berbeda.

Wiraga lebih ke bentuk respon terhadap obyek sih. Masih satu kerangka di program seni rupa juga, cuma kalo Wirama yang disorot senimannya, kalo Wiraga obyeknya,imbuh Els saat ditanya lebih lanjut mengenai perbedaan kedua program itu.

Pameran Wirama yang digelar di Gedung Sonobudoyo melibatkan 33 seniman perupa seperti Nasirun, Agung Kurniawan, Laksmi Sitharesmi dan FJ Kunting. Program pameran yang dilaksanakan mulai tanggal 8 sampai 16 Juli 2019 ini menggaet Lisistrata Lusandiana sebagai salah satu kuratornya.

Dalam paparannya mengenai konsep pameran Wirama, sang kurator Lisistrata menuliskan bahwa kegiatan ini adalah sebuah ajakan, untuk mendeteksi diri sendiri, Apakah kita selama ini dekat atau asing, sosial atau intim pada kota dan keseharian kita.Berdasarkan paparan ini, pameran Wirama diharapkan dapat menjadi momentum untuk merenungkan kembali praktik kesenian di kota Jogja.

Sedangkan, Pameran Wiraga bertempat di kompleks Alun-alun Kidul sejak 4-21 Juli 2019. Obyek instalasi yang diangkat adalah mobil kayuh. Wiraga melibatkan beberapa komunitas pegiat mobil kayuh seperti Komunitas Paparasi dan Komunitas Kasta. Pameran ini bertujuan untuk mengangkat kesederhanaan mobil kayuh sebagai  bagian dari kebudayaan sehari-hari. Kebudayaan yang tidak jauh dari temuan, pencapaian dan teknologi”.

Masih dalam satu koridor pemikiran Ki Hadjar Dewantara, konsep Wirasa bekerja pada konteks yang berbeda dari dua konep lainya, Wirama dan Wiraga. Dimensi audio menjadi pijakan utama program ini. Dengan kata lain, Wirasa berbicara soal musik dan kaitannya dengan keseharian masyarakat.

Konser Sariswara adalah salah satu bagian dari program Wirasa. Ketika diwawancarai terkait konser Sariswara, Hanif (Koordinator panggung interaksi warga) menyampaikan bahwa konser tersebut adalah bagian dari respon atas karya musik dan metode belajara yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara.

(Konser Sariswara) ternyata cukup berhasil membuka wawasan kebudayaan dan pengetahhuan di lingkungan taman siswa dengan merespon karya musik dan metode belajar Ki Hadjar Dewantara itu. Serta antusiasme warga sekitar untuk menyaksikan grup hip-hop anak (Widjilan Kids) yang tinggi juga. Dihadiri hampir 1000 orang di malam itu. Saya agak lupa pastinya berapa orang mas, 900-an,” papar Hanif terkait respon audiens atas Konser Sariswara.

Hanif juga menambahkan bahwa respon audiens/warga yang diterima telah sesuai dengan ekspektasi awal penyelenggara. “Harapan FKY 2019 untuk merangkul kebudayaan secara luas kurang lebih tercapai, Mas. Karena tidak hanya pentas dan pertunjukan saja. Tapi banyak program yang kita tampilkan mulai dari proses dan asal muasalnya. Sehingga masyarakat kota Jogja secara khusus bisa melihat dan mengalami proses kebudayaan secara umum,” ungkapnya.

Terkait seni musik, ada satu hal yang tak pernah ketinggalan dari perhelatan FKY setiap tahunnya, yaitu Panggung Senyap. Panggung musik yang mengambil tempat di venue utama, Kampoeng Mataraman ini menawarkan sebuah pengalaman mendengarkan musik yang berbeda bagi audiens.

Dalam Panggung Senyap, audiens diminta untuk menggunakan headphone/headset dalam mendengarkan alunan musik yang ditampilkan. Audio yang disajikan tidak diperdengarkan melalui pengeras suara seperti pada umumnya, namun melalui gelombang radio. Audiens dapat mengaksesnya melalui frekuensi gelombang radio yang telah ditentukan.

Panggung Senyap itu merupakan pendekatan eksperimental mendengarkan dan melihat konser musik. Pengunjung harus menggunakan headphone/headset. Untuk mendengarkan musik karena audio akan disajikan melalui gelombang radio. Bukan melalui pengeras suara seperti pada umumnya,” ucap Hanif dalam penjelasannya.

Wadah Pertemuan Seni Tradisi dan Seni Massa

Berdasarkan penjelasan beberapa panitia penyelenggara, salah satu misi khusus FKY 2019 adalah mempertemukan seni tradisi dengan seni massa, yang idientik dengan masyarakat urban perkotaan. Pentas wayang orang dan musik gamelan bercampur-baur dengan panggung musik hip-hop sampai seni instalasi dalam sebuah festival kebudayaan.

Misi mempertemukan seni tradisi dengan seni massa ini diemban dengan tujuan memperluas cakupan FKY 2019. FKY 2019 tidak hanya menjadi wadah bagi seni urban yang kontemporer, namun perhelatannya meluas sampai menyentuh akar seni tradisi, khususnya yang dihidupi oleh masyarakat Jogja.

Tidak berhenti sampai disitu. Melalui salah satu program yang bertajuk panggung Panggih, audiens diajak merasakan ikatan emosional dengan sejarah Jogja, khususnya terkait Pangeran Diponegoro. Beragam kuliner khas sajian Museum Pangeran Diponegoro direproduksi dan disajikan ke hadapan audiens pada acara yang digelar pertangahn Juli 2019 lalu itu. Melalui pengalaman lidah mereka, audiens dibawa bertamasya sejarah kebudayaan.

Pertemuan seni tradisi dengan seni massa juga diwujudkan melalui Dialog Musik antara grup Band Letto dengan musik gamelan Komunitas Gayam16. Dialog yang disajikan secara terbuka pada tanggal 18 Juli 2019 ini membuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk mengikuti proses kreatif yang dilakukan, mulai dari persiapan awal sampai dengan pementasan.

 

Penulis: Britto Wirajati

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...