CLASIFIED ARTS | DISCOVER | 11 Juli 2019

Membekukan Personal Project Melalui Buku Foto

Tak hanya Instagram atau media sosial lainnya, buku foto kini menjadi sarana ekspresi diri kekinian. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, buku foto di Indonesia berkembang pesat.

Tak hanya Instagram atau media sosial lainnya, buku foto kini menjadi sarana ekspresi diri kekinian. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, buku foto di Indonesia berkembang pesat. Hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya fotografer yang menerbitkan buku foto. Salah satu orang yang berkecimpung dalam penerbitan buku foto adalah Andi Ari, seorang desainer buku foto yang memulai karirnya sejak 2008 silam. Menerobos padatnya arus lalu lintas Jakarta menjelang senja, saya menemui Ari di salah satu kios di Pasar Santa, tempat yang sempat moncer sebagai pusat industri kreatif di ibukota. Menemukan kiosnya cukup mudah, di antara kios-kios penjahit pakaian, kios milik Ari cukup mencolok dengan gemerlap lampu dan plang warna merah bertuliskan “Gue Ari Galeri”. 

Di kios berukuran 3x3 meter ini, Ari memajang seratusan buku foto. Buku foto dari dalam dan luar negeri tertumpuk rapi di atas rak besi, sebagian lainnya tertata berjajar di beberapa panel kayu yang menempel di tembok berwarna putih. 

Berawal dari belajar memotret di Galeri Fotografi Jurnalistk Antara (GFJA), Ari melihat ada kesamaan dalam fotografi dan desain yakni estetika, garis, warna, dan bentuk. Ari beralih dari fotografer menjadi seseorang yang lebih fokus pada desain buku saat fotonya yang berupa gempa Jogja pada 2007 menjadi cover buku foto berjudul Fyfty Seven Seconds. Ibarat seorang dokter, Ari mengatakan desain buku foto adalah spesialisasinya. 

Ditanya tentang perkembangan buku foto di Indonesia, Ari mengatakan ini tak lepas dari era digital yang terus maju. Dengan sistem operasional kamera yang lebih mudah dan harga yang kian terjangkau, semua orang bisa menjadi fotografer. 

Sekitar 10 tahun silam, tren di kalangan fotografer adalah menyelenggarakan pameran foto tunggal di galeri, namun sekarang jumlahnya kian berkurang, tak lagi sebanyak dulu. “Saat ini, belum tentu setiap dua bulan sekali ada yang mengadakan pameran tunggal. Media sosial turut berperan dalam hal ini, terutama Instagram,” ungkap Ari. Orang tak lagi harus bersusah payah menyelenggarakan pameran untuk memamerkan karyanya. 

Bagi Ari, siapa pun bisa membuat buku foto, tak harus mempunyai kamera mahal, tak wajib menjadi fotografer terkenal, atau pun karya-karya yang fenomenal. Pria yang sudah mendesain lebih dari 150 buah buku foto ini mengatakan bahwa konten cerita adalah modal utama untuk menerbitkan sebuah buku foto. 

Selanjutnya, Ari mengatakan bahwa karya yang bersifat personal (menceritakan diri sendiri atau pengalaman pribadi) akan lebih mampu memikat penikmat buku foto. 

Ari beringsut perlahan, lalu memilah beberapa buah buku foto sebelum menyodorkan kepada saya. Di depan saya ada sebuah buku foto yang dominan berwana kuning. Pembuatnya adalah Nazkia Haryanti, seorang siswa kelas III SMA. Buku ini berisi memori bersama figur yang dikasihinya, seorang ayah yang menjadi pecandu narkoba dan meninggal karena HIV/AIDS. 

Contoh lain buku foto yang bersifat personal ditunjukkan oleh Ari. Kali ini buku bersampul abu-abu berjudul Mail karya Dinda Joe. Buku foto yang dikolaborasikan dengan rentetan puisi ini bercerita tentang perjalanan cinta pengarangnya. Lalu ada juga Saudade, buku foto karya Agung Kuncahya berisi ingatan terhadap orang taunya yang merupakan Eks Tapol 65. 

Membuat buku foto tentu tak semudah membuat buku teks. “Buku foto harus dibuat lebih unik dengan berbagai tampilan,” ujar Ari saat disinggung mengenai tantangan dalam desain buku foto. Ari lalu menunjukkan sebuah buku foto tentang cokelat yang didesain dengan bentuk cokelat batangan dan memiliki aroma persis cokelat. Ada pula buku foto mengenai kehidupan di balik jeruji besi penjara, yang sampulnya dibungkus dengan besi alumunium. 

Tantangan selanjutnya setelah buku foto selesai dibuat adalah penjualan. Tak menampik kenyataan bahwa untuk mencetak buku foto, perlu modal yang lumayan besar. Jumlahnya memang tergantung pada jenis kertas, total halaman, ukuran, dan jenis cover. "Biaya yang besar bisa kita siasati dengan PO atau pre-order, jadi pembeli memesan buku terlebih dulu, membayarnya, baru kita mencetaknya" papar Ari. Sistem ini disebut "print on demand". 

Pada mulanya, penerbit buku foto secara swadaya mengandalkan komunitas fotografi atau teman sebagai ceruk pasarnya. Namun kini kondisi sudah cukup berubah. Beberapa penerbit menggunakan Facebook untuk mempromosikan bukunya. Hal ini memungkinkan menjaring peminat buku di luar pertemanan dekat, bukan tak mungkin ada pembeli dari kota kecil di pelosok Nusantara. " Di beberapa kota, sudah mulai ada perpustakaan buku foto beserta diskusi rutin, dari sana muncul para penikmat buku foto," papar Ari. 

Meski sudah ada perpustakaan buku foto, ilmu pembuatan buku foto belum banyak yang menguasai. Karena itu Ari bersedia apabila ada komunitas di daerah yang ingin mengundangnya untuk berbagi pengalaman.  

"Bikin buku foto itu ada ilmunya, bagaimana menentukan besar kecil ukuran foto, bagaimana foto lebih tepat diletakkan di kiri dan di kanan. Nah, undang gw kalo ada yang mau tahu ilmunya," imbuh pria jebolan Inter Studi Jakarta itu. 

Ari juga membuka "Gue Ari Galeri " sejak Desember 2014 lalu sebagai tempat berdiskusi, bertukar ide serta pameran buku foto. Secara rutin, Ari juga telah menggelar workshop untuk fotografer yang berniat menerbitkan buku foto.  

Menerbitkan dan menjual buku foto sepertinya memang cukup susah apabila berharap laba yang melimpah. Tapi memang tak melulu soal uang, ada kepuasan tersendiri ketika berhasil melewati jerih payah hingga terlahir lembar demi lembar yang berisi karya foto pilihan kita. 

Jadi kapan kamu bikin buku foto?

 

Penulis: Agoes Rudianto

Editor: Fik


Photography By : Dokumentasi Kokerekayu

TAGGED :
Please wait...