CLASIFIED ARTS | DISCOVER | 11 Juli 2019

Retro Space Art yang Belakangan Booming Lagi

Traveling ke ruang angkasa, menjelajah satu galaksi ke galaksi lain. Buat saya, cerita kayak begini kalau sekarang bisa jadi sudah usang.

Traveling ke ruang angkasa, menjelajah satu galaksi ke galaksi lain. Buat saya, cerita kayak begini kalau sekarang bisa jadi sudah usang. Efek-efek yang ada dalam rentetan film Star Trek sama Star Wars sudah semakin matang. Kalau mau yang agak realistis, film Interstellar bisa dibilang masih juaranya. Bahkan space trip betulan juga sudah dibikin lewat Virgin Galactic SpaceShipTwo Space Trip. 

Jadi apa dong serunya? Kalau bicara realitas, ya udah deh, mau bilang apa. Tapi sebelum sampai sana, buat saya, era retro-space art juga enggak bisa ditinggal begitu aja. Buktinya, waktu iseng-iseng Googling, total ada 190 juta temuan buat kata-kata kunci "retro space art". Loh, jadi masih banyak yang bahas di era internet begini? 

Entah juga kenapa, belakangan banyak musik mix chillwave, synthwave, retrowave yang bangkitin era retro-space art di YouTube. Orang-orang masih dengar Daft Punk, rapper kayak Tyler The Creator pakai synth di musik-musiknya, dan makin banyak lagi kalau bahas EDM.  

Kalau bicara "retro space art", "70-80s sci fi movie", Indonesia di era 1980-an juga kena demam tren ini. Contohnya saya temukan sendiri di toko-toko komik bekas, waktu banyak komik ukuran besar-besar diterjemahkan ke bahasa Indonesia. 

Misalnya The Rise and Fall of the Trigan Empire, komik bikinan Mike Butterworth sama Don Lawrence ini diterjemahkan sama penerbit Gramedia jadi Trigan dan punya fans sampai sekarang. Contoh lainnya juga garapan Don, judulnya Storm. 

Keduanya sama-sama bahas imajinasi masa depan, makhluk asing, dan enggak sedikit soal selipan edukasi sains. Singkatnya, sains sering dijadikan sudut pandang untuk menjawab siapa manusia, kecanggihan alam, dan lainnya. Lalu hal itu diterjemahkan dalam cerita yang imajinatif. 

Auranya juga kebanyakan positif, heroik pastinya, dengan berbagai bangunan sampai kendaraan yang suka-suka si pengarang deh soal desain dan fungsinya. Pikiran mereka bisa dibebaskan sebegitu jauhnya, tanpa harus mikir "ah di mana logikanya". 

Film-film era retro-space sci fi ini bahkan jauh lebih banyak. Jangan cuma lihat Star Trek dan Star Wars, tapi coba juga lihat film-film ini: 2001: A Space Odyssey (1968), Solaris (1971), Enemy Mine (1985), Logan's Run (1976), Fantastic Voyage (1966), The Quiet Earth (1985), Silent Running (1972), Dune (1984), Robinson Crusoe on Mars (1964).   

Ada juga Flash Gordon (1980), Barbarella (1968), Damnation Alley (1977), bahkan yang jauh lebih tua kayak Forbidden Planet (1956) atau Destination Moon (1950).   

Semua film ini sudah main palet warna yang komikal dan hangat, apalagi gambar-gambar di posternya yang jadi barang koleksi antik kalau coba cari-cari di Ebay. 

Ceritanya? Jangan terlalu dipikirin soal logikanya (kayak tadi sudah saya bilang). Walaupun, kalau kita balik ke masa itu, para penontonnya memang para penonton yang antara "udah sadar ah itu cuma film" sama "lapar sama kebenaran" soal kekuatan ilmu alam yang mengungkap masa depan, petualangan luar angkasa, sampai alien. Hehehe. 

Soalnya, kayak tadi juga sudah saya tulis, kebanyakan dari film-film ini coba angkat topik-topik mendasar yang jadi pertanyaan banyak orang. Kalau merasa film makhluk planet seram sudah kelewat biasa saja, beberapa film lainnya bikin pendekatan humanis yang menantang logika "eh jangan-jangan benar ya". 

Contoh zaman sekarang mungkin Interstellar (2014) garapan Christopher Nolan. Tapi zaman dulu juga misalnya ada Journey to the Far Side of the Sun (1969). Ceritanya Amerika lagi mengembangkan proyek gara-gara temuan planet persis Bumi di balik Matahari yang enggak ketemu dan kelihatan karena perputaran orbitnya sama dengan Bumi.  

Sampai di situ saja, rasanya udah tergelitik: eh jangan-jangan ada ya. Film ini pun makin realistis karena berbau bumbu politik era itu, waktu Amerika dan negara-negara lain lagi berlomba-lomba sampai ke luar angkasa. 

Saya enggak mau banyak-banyak spolier, tapi kira-kira setting film ini ceritanya agak-agak di masa depan dengan mobil-mobil dan pesawat-pesawat ajaib tapi canggih, dan bagian akhirnya dibikin lumayan realistis. Kalau doyan sama film cult khususnya sci-fi, film ini sih mestinya sudah masuk daftar tonton. 

Jadi apa ya kesimpulannya? Imajinasi tentang menjelajah ruang angkasa dan kecanggihan masa depan mungkin jadi sesuatu yang simpel di benak kita, tapi enggak disangka-sangka kalau itu jadi tren dan sesuatu yang otentik. 

Lebih dari itu, mau masuk akal atau enggak, ini murni fun, bahkan sifatnya eskapisme untuk menjaga energi imajinasi, apalagi buat yang cinta pop art dan sudah lama enggak piknik. Haha.

 

Penulis: Wahyu Harjanto

Editor: Fik


Photography By : Dokumentasi Kokerekayu

TAGGED :
Please wait...