CLASIFIED ARTS | DISCOVER | 28 Agustus 2019

RRI Turut Menjaga Batas Imajiner

Studio produksi RRI menjadi penjaga kesatuan NKRI di 10 daerah perbatasan Indonesia lewat siaran yang diberikan di 19 studio produksi.

Butuh waktu 5 bulan, bagi Dorkas Siang, 57 untuk bertemu suami dan 3 putera kesayangannya di Wamena, Papua. Wanita yang kini menjadi kordinator studio produksi RRI Oksibil, kabupaten Pegunungan Bintang, Papua sudah mengabdikan dirinya selama 28 tahun. Ia bertanggung jawab penuh atas konten siaran di sana. 

Bermodal satu komputer dan sebuah mixer 6 channel dengan menara pemancar 1KW setinggi 7 meter, masyarakat mengandalkan informasi dari RRI. “Masyarakat sangat antusias dengan berita lokal dan pembangunan kabupaten,” ungkap Dorkas. 

Tiga distrik di Oksibil berbatasan langsung dengan Papua Nugini, masyaraktnya pun mayoritas menggunakan dua bahasa: Indonesia dan Inggris Vizi (bahasa Papua Nugini). Untuk mendapatkan satu berita, menurut Dorkas dibutuhkan sedikitnya Rp100 ribu, “biaya itu digunakan untuk transportasi ojek menuju kota yang medannya karang,” kata Dorkas yang dulu juga menjadi reporter. 

RRI Oksibil melibatkan anggota TN dan Polisi Militer yang melakukan siaran sebanyak dua kali dalam seminggu. Selain itu ada program siaran yang membahas informasi pedesaan, HIV AIDS, perempuan, dan anak-anak. Sisanya mereka merelay dari siaran Jakarta. 

Perjuangan tidak hanya dalam pencarian berita, saat mengoperasionalkan radio, Oksibil masih menggunakan solar karena tidak ada listrik yang memadai. Satu liter solar di sana diharga Rp50 ribu. Dalam satu jam siaran mereka membutuhkan 6 liter solar. 

Sementara itu di kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara terdapat sebuah pulau bernama Miangas yang berbatasan dengan Filipina, hanya 4 mil. Banyak masyarakat di Miangas juga yang menggunakan bahasa Tagalong (bahasa khas Filipina). 

Untuk itu, RRI memaksimalkan siarannya dengan menggunakan bahasa asli kepulauan tersebut: Tobea Parodis yang cukup interaktif dengan pendengarnya. “Kami buatkan program budaya Kepualaun Talaud seperti tradisi masyarakat setempat dengan budaya religi Desa Musi, Kecamatan Lirung untuk menjaga kelangsungan budayanya,” ungkap kordinator studio produksi RRI, Talaud, Maxi Katiandagho, 56 yang ditugaskan dari RRI Manado, 

PENINGKATAN MUTU

Lebih lanjut, ketua tim studio produksi pusat RRI, Istu Gutari, 58, mangatakan usia studio produksi sudah berusia 9 tahun. Jauh sebelum format studio produksi ada, RRI memang sudah mengudara di berbagai daerah perbatasan. Namun konsep studio produksi mulai diperkanalkan untuk memaksimalkan tugas RRI menjaga batas imajiner kedaualatan NKRI: menjaga rasa nasionalisme para masyarakat perbatasan dan membuka isolasi informasi di sana. 

RRI pun harus pintar mengambil simpati dan melibatkan interaksi masyarkat sekitar dengan program siarannya. ”Varian programnya bermacam-macam, tidak hanya terpaku pada berita tapi juga berbasis komunitas dan mengembangkan potensi daerah,” ungkap Istu. 

Untuk itu para kordinator studio produksi di daerah perbatasan diundang ke Jakarta unuk melakukan lokakarya. Di sini mereka merumuskan berbagai macam program yang sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing. Selain itu inventori dan perlatan penunjang siaran juga dilakukan peningkatan. 

Misalnya saja menara yang tadinya hanya 1KW diganti menjadi 5KW untuk memperluas jangkauan siar. Karena dibeberapa daerah tidak mendapatkan siaran yang jernih. Selain itu juga ada libatan masyarakat sekitrar yang didapuk menjadi angkasawan dan angkasawati RRI. Pada 2 September 2014, Oksibil mendapatkan menara pemancar 5KW setinggi 30 meter. Ia juga berharap ada pasokan genset berkapasitas 33KVA untuk pemancar tersebut. 

Di Oksibil memiliki 12 karyawan termasuk 6 penyiar, 2 pemberitaan, dan 2 teknisi. Sementara di Talaud 9 karyawan termasuk 6 penyiar dan reporter, seorang penyiar sekaligus teknisi, dan seorang yang bertugas untuk menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah.

 

Penulis: Abhi

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...