CLASIFIED MUSIC | ORIGINS | 17 Agustus 2019

Solidaritas dalam Alunan Keroncong dan Pantomime VOC

Siapa tak kenal almarhum Gesang, maestro Keroncong Indonesia?

Siapa tak kenal almarhum Gesang, maestro Keroncong Indonesia? Di tangannya, jenis musik yang lahir atas pengaruh kedatangan bangsa Portugis ini berhasil mendapatkan segmen pendengar yang cukup luas pada masanya. Tetapi belakangan, keroncong dipandang sebagai jenis musik yang sudah ketinggalan zaman. Keroncongpun mulai kehilangan tempatnya di hati para penikmat musik.

Tidak hanya keroncong, bentuk kesenian lain macam pantomime juga tampak kehilangan peminat. Harapan akan munculnya mimer muda yang dapat menjadi generasi penerus Septian Dwi Cahyo, (Alm.) Sena Utoyo dan Jemek Supardi itu bak jauh panggang dari api. Di era milenial ini pantomime surut dengan cepat dari panggung-panggung hiburan, gedung pertunjukan, bahkan jalanan.

Namun siapa sangka di tangan sekelompok anak muda Jogja, kedua bentuk kesenian itu justru jadi bekal utama mengarungi industri musik di Indonesia. Mereka adalah VOC, atau Voice of Citizen. Memadukan alunan keroncong yang lembut dengan gerakan pantomime yang luwes, Phil (vokal), Sutrek (bass), Gembot (cak), Gesang (cuk) dan Aldo (pantomime) mencoba meraih panggung di tengah blantika musik Indonesia.

Voice of Citizen atau VOC diterjemahkan oleh Phil dan kelompoknya sebagai suara rakyat. Misi utamanya adalah bernyanyi serta bermusik bersama-sama dengan masyarakat dan untuk masyarakat. Dipilihnya konsep perpaduan antara alunan keroncong dan gerak pantomime didorong oleh keprihatinan mereka bersama. Para personil VOC berpandangan bahwa keroncong dan pantomime yang perlahan sepi peminat perlu kembali dipertontonkan.

Soalnya keroncong sama pantomime ini mulai terlupakan. Sebenarnya banyak pegiatnya, cuma kurang wadahnya. Nah, VOC ini sebagai salah satu garis depan sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi tersebut,” ungkap Phil menjelaskan alasan VOC mengusung konsep perpaduan keroncong dan pantomime.

Dalam musik VOC, pantomime menjadi sebuah media untuk menguatkan pesan yang ingin disampaikan dalam lagu-lagunya. “Dengan memadukan keroncong dan pantomime, selain menyuguhkan audio secara musikal, (VOC) menyuguhkan cerita visual dari setiap lagu yang dibawakan melalui pantomime”, imbuh Phil.

Selain itu, lewat kebaruan konsep yang mereka usung, VOC ingin mengubah image musik keroncong yang dianggap eksklusif. Melalui karya-karya yang mereka suguhkan VOC ingin menginspirasi anak muda bahwa musik keroncong tidak melulu hanya dinikmati kalangan tertentu. Sebaliknya, musik yang dianggap tua ini sesungguhnya tetap cocok dinikmati dan dilestarikan oleh kalangan muda.

Konsep baru yang ditawarkan VOC tersebut ternyata sejauh ini menuai respon yang positif. Pada awal kemunculannya memang banyak kesulitan yang dihadapi, imbas dari sempitnya pandangan atas musik keroncong. Namun berkat unggahan mereka  di media sosial YouTube, anggapan itu perlahan terkikis. Banyak pihakmulai melirik keunikan penampilan mereka setelah menyasikan video dokumentasi yang diunggah.

Salah satunya adalah pemilik JD Records, Jan Djuhana. Berkat kesempatan untuk bisa perform dalam gelaran Sea Games 2019 lalu, VOC berhasil mencuri perhatian produser musik kawakan tersebut. Alhasil sebuah kontrak kerjasama telah mereka tandatangani dengan pihak JD Records. Hal ini mereka anggap sebagai salah satu biggest achievement dalam bermusik, sejak terbentuk pada 14 maret 2016 lalu.

Bermusik Sebagai Bentuk Solidaritas Kepada Kaum Difabel

Disamping kebaruan konsep dan capaian VOC dalam dunia musik Indonesia, ada hal lain yang menarik perhatian Saya. Seni gerak pantomime yang mereka suguhkan ternyata punya maksud lain. Tidak hanya kembali memasyarakatkan pantomime semata, namun penggunaannya dalam konsep bermusik VOC adalah sebuah wujud solidaritas. Ya, solidaritas!

Selama ini perkara “didengar lebih luas” sering diartikan sempit, hanya sebatas urusan terkenal di dalam dan luar negeri. Cara berpikir yang demikian hanya mengukur pengaruh sebuah karya musik dari segi keluasan area distribusi karya. Tetapi VOC punya pemahaman lain soal memperdengarkan musik mereka seluas-luasnya.

Hal ini yang coba diperlihatkan melalui kehadiran mimer dalam VOC. Selain sebagai pencerita dan pemandu goyang, mimer juga punya tugas sebagai penterjemah lagu-lagu yang dibawakan VOC kepada audiens difabel, khususnya tuna grahita.

“Karena ga semua penikmat (musik) itu ‘normal’ (fungsi pendengarannya), dalam arti ada yang difabel. Itu jadi jobdesk mimernya, supaya cerita lagunya dapat tersampaikan ke teman-temen tuna grahita”, seperti disampaikan oleh Phil, sang vokalis.

Pernyataan sikap ini menunjukan bahwa “didengar lebih luas” bagi VOC punya makna lain, yaitu solidaritas terhadap kaum difabel. VOC ingin musik dan llrik yang dinyanyikannya punya bahasa lain yang mampu menghapus keterbatasan sesama manusia. Sebuah pandangan hidup yang kadang dilupakan banyak orang. 

VOC yang saat ini telah merilis 3 single dalam format digital (Sendja Dalam Lamoenan, Seni Kok Dibatasi dan Putri Khayangan) tengah sibuk mengolah beragam materi musik yang telah terkumpul. Saat ditanya soal kapan akan merilis album, vokalis VOC, Phil menjawab belum ada rencana. Sejauh ini belum (ada rencana), mungkin nanti kalo singlenya udah banyak baru ngomongin soal album,” tutupnya.

 

Penulis: Britto Wirajati

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...