CLASIFIED CULTURE | JOURNEY | 28 Agustus 2019

Tak Hanya Alam, Musik pun Dilakukan Konservasi

Digitalisasi adalah cara jitu saat ini untuk melestarikan sejarah musik Indonesia. Tentunya dengan pengarsipan yang dilakukan sebaik-baiknya.

Lagu A Go Go milik Dara Puspita yang diproduseri Elshinta membahana dalam ruang kerja. Suaranya terdengar begitu lawas, tidak sejernih musik saat ni. Rupanya bukan dari pemutar piringan hitam ia berasal melainkan sebuah laptop berlayar 13 inch milik seorang desainer yang sedang asyik menggambar ilustrasi untuk majalah. Setelahnnya lagu To Love Somebody dari Bee Gees yang dibawakan Dara Puspita di album itu terdengar hingga habis satu album yang berisi delapan lagu itu. 

Dia adalah Erik, 30, telah lama menjadi pengunjung setia situs Irama Nusantara untuk mendengarkan musik-musik populer Indonesia dari berbagai era. Melihat tampilan situsnya, ternyata ada data lengkap mengenai siapa Dara Puspita dan pencipta lagunya. Kini sebanyak hampir 1000 koleksi dapatt dinikmati hanya dengan sekali klik. Tapi jangan harap untuk bisa mengunduhnya. 

Perpustakaan musik digital ini sengaja diciptakan untuk menghimpun musisi-musisi Indonesia dari masa ke masa. Berangkat dari Indonesia Jumawa di tahun 1997, para pemuda dan pemudi yang bertemu di Bandung memiliki hobi yang sama; mengumpulkan piringan hitam dan memburu lagu-lagu Indonesia yang populer pada masanya dengan berbagai genre. 

“Awalnya ingin pamer koleksi kami dengan membuat streaming radio ketika sudah hijrah ke Jakarta. Kita tahu hanya musisi populer saja, padahal ada banyak sekali musisi Indonesia yang karyanya bagus, akhirnya kami mulai mencari. Kami rekam ulang ke dalam bentuk data agar bisa diputar di radio karena takut rusak kalau diputar terus piringan hitamnya.” kenang salah satu inisiator, Alvin Yunata. 

Setelah radio mereka sempat vakum beberapa tahun karena kesibukan masing-masing dan akhirnya tahun 2011 mereka bertemu lagi, kita bikin wacara memutuskan hal yang lebih serius menjalani pengarsipan ini. “Tahun 2013 baru mulai terealisasi bikin yayasan dengan anama Irama Nusantara, struktur dan SOP nya mulai dibangun dan dimatengin

Sampai saat ini memang masih jauh dari sempurna perpustakaannya, kita masih terus mengembangkannya,” ungkap salah satu penggagas Irama Nusantara, Blas Christoforus yang biasa dipanggil Bla. 

Saat itu mereka masih memiliki keterbatasan biaya dan alat-alat. Sumber pendanaannya pun mengandalkan dana hibah dari NGO, “saat ini kita bekerjasama dengan Hivos dari Belanda,” kata Bla. Para pekerja di Irama Nusantara semuanya relawan, mereka menidirikan lembaga ini agar orang tidak melihatnya keseriusan dari misi pengarsipan ini, “kami bukan komunitas tapi sebuah pergerakan yang bisa melibatkan orang banyak. Kami hanya sebagai inisiator saja.” 

Irama Nusantara ingin menjadi sentra data base musik Indonesia yang tidak hanya sekadar menjadi sentra tetapi juga tempat untuk orang datang ke Irama Nusantara dengan tujuan melihat data pustakanya secara fisik, buku-buku yang nanti akan dibuat, dan bisa mendengarkan dengan kualitas bagus karena saat ini kualitas yang dinikmati secara online disesuaikan dengan server milik mereka. Perlagu hanya 56kbps. 

Mereka masih terus menyelamtkan karya-karya yang dianggap kritis keberadaannya. “Paling tua tahun 40’an yang berbahan keramik dan Shellac, belum kami digitalkan karena butuh alat putargramaphone,bukan turn table,”ujar Alvin. 

Untuk meudahkan pengarsipan, mereka memulainyadari era 50’an. Saat itu musik Indonesia sudah populer. Musik populer / musik yang terdengar dari berbagai macam genre karena keroncong saat itu termasuk musik populer. 

“Tahun 50’an-60’an adalah materi yang rentan untuk dikumpulkan, kami fokus ke situ dulu karena kalau era 80’an ke atas tidak sesulit era sebelumnya dimana kondisi fisiknya pun sudah kritis. Kami juga harus kolektif mendapatkannya, bahkan hanya bisa dipinjamkan saja dari kolektor dan pedagang,” kisah Alvin 

BERKEJARAN DENGAN MAUT

Tak semulus jalan aspal di sirkuit balap formula, mengumpulkan piringan hitam layaknya merekatkan serpihan guci yang terpecah belah. Perlu kesabaran dan kelihaian khusus dalam menjalin relasi antara teman, kolektor, hingga pedagang. Belum lagi kondisi piringan hitam yang didapat kondisinya kritis dan bisa menjadi rusak bila salah penanganan. 

“Awalnya kami senang dulu, kami tidak mungkin punya seluruh koleksi, kebanyakan yang saya dan David Tarigan punya kondisinya tidak sama, dan kami juga punya teman-teman yang hobi mengkoleksi. Akhirnya kita bikin jaringan dari teman sekitar soal info daftar musisi yang dimiliki untuk dipinjam, akhirya kolektif dari teman-teman terdekat. Pada akhirnya berkembang dari informasi yang kami dapat; mencari ke pedagang dan membina hubungan dengan mereka yang berjualan di Jalan Surabaya dan Blok M Square Basement,” papar Alvin. 

Berkat relasi yang dimiliki, Irama Nusantara seringkali meminjam kepada relasinya untuk didigitalkan. Pedagang piringan hitam dan kaset pun bertindak kooperatif, mereka  tidak segan memberikan info koleksi baru. “Biasanya kami pinjam satu minggu dengan mempertaruhkan nama sendiri dan Irama Nusantara, kondisinya harus kami jaga karena piringan hitamnya barang dagangan,” tambah Bla. 

Kepercayaan antara teman, kolektor, dan pedagang merupakan sumbu utama dari proses panjang pengarsipan musik populer Indonesia. Irama Nusantara tidak mungkin dapat itu semua tanpa blusukan dan korek kanan kiri karena ada ribuan musisi yang mereka sendiri bahkan tidak mengenalnya dan bercecer di berbagai tempat hingga negara lain. 

“Sampai saat ini yang sudah kami digitalkan banyak yang tidak tahu info tahun berapa diciptakan tepatnya. Kami pernah dayang ke Bob Tutupoli dan kita tanya album tersebut, ia pun lupa tahun berapa dan tidak ada info tahunnya di cover piringan hitam tersebut,” aku Alvin. 

Buruknya standar operasi kerja para pekerja rekaman Indonesia saat ituadalah  meremehkan pengarsipan bahkan sampai hal yang sesederhadana seperti keterangan tahun. Tak jarang kawanan Irama Nusantara mengidentifikasi dari tulisan ejaan lama untuk mengira-ngira tahun pembuatan dan perilisannya, “setelah itu merunut produk dari dapur rekaman yang memproduksinya. Kami tidak ingin sekadar mendigitalkan saja, tapi melakukan pengarsipan dengan sebaik-baiknya.” ujar Bla. 

Mereka pun bekerja berkejaran dengan maut. Banyak musisi dan saksi hidup yang terkait karya sudah lebih dahulu wafat sebelum sempat ditanyakan mengenai jejak rekam albumnya. “Kalau kami tidak kejar sekarang keburu musisinya pada meninggal. Saksi hidupnya tidak ada. Rekam sejarahnya mau kami cari kemana? Waktu itu pernah janjian sama Chris Biantoro,s udah dapat kontaknya dan waktunya untuk menunggu bertemu. Sayangnya beliau lebih dahulu dipanggil yang maha kuasa. Akhirnya terputus dan kita cari alternatifnya seperti ke Titiek Puspa, atau musisi-musisi yang ikut bersama Chris Biantoro,” jelas Bla soal penelusuran karya. 

Mereka mengaku berlomba dengan usia, baik usia diri sendiri maupun para musisi. Putus asa pun kerap menghinggapi. Mereka melakukan sesanggup yang mereka bisa tanpa ditarget setiap hari atu minggu untuk menemukan karya-karya baru. Mereka pun memiliki trik tersendiri dalam menghadapi para musisi yang usianya tidak muda lagi. “Membuat janji dengan para orang tua tidak semudah dengan anak muda yang bisa kapan waktu buat janjian bertemu, perlu lihat situasi dan kondisi mereka jauh-jauh hari dengan pendekatan yang berbeda-beda,” unkap Bla. 

Lewat gerakan para muda-mudi ini tentunya bisa menginspirasi pemerintah untuk awas terhadap masa depan yang tidak terlepas dari nilai sejarah itu sendiri. Nyatanya banyak generasi muda yang justru mendengarkan dan mencari referensi musisi lama karena dianggap memiliki kualitas yang bagus dan keunikan tersendiri bukan berdasarkan hasrat bernostalgia. Hal tersebut diketahui David dari piringan hitam yang berhasil diedarkan ulang oleh label luar negeri, setengahnya dinikmati oleh anak muda Indonesia. 

Menurut David, banyak juga label yang mengapresias karya Indonesia diantaranya Sublime Frequences dan Sub Pop, sebuah label yang memproduksi Nirvana. “Koes Plus, Koes Bersaudara, dan Dara Puspita sudah di-reissue oleh Sublime Frequences. Walaupun skalanya kecil, ini bisa jadi tonggak perubahan sistem musik Indonesia yang go international dengan monitoring yang baik”. Mewakili semangat teman-teman di Irama Nusantara, mereka dengan rela dan senang hati apabila pemerintah mengadopsi apa yang dilakukan Irama Nusantara, “itu yang kami tunggu, respon dari pemerintah,” pungkas David.

 

Penulis: Abhi

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...