CLASIFIED MUSIC | ORIGINS | 09 Agustus 2019

The Sailor: Keroposnya Jiwa Rich Brian Sehingga Memilih Pulang dari Rantau?

Album penuh kedua Rich Brian yang hidup dengan pendekatan berbeda

Raper fenomenal Jakarta, Rich Brian, telah memperkenalkan album penuh kedua berjudul The Sailor pada akhir Juli 2019. Album yang sangat menarik untuk dibedah mengingat perjalanan musik Brian sejak video musik Dat $tick (2016) yang kini telah disaksikan oleh lebih kurang 125 juta orang. Ia masih berusia 16 tahun ketika itu. Dalam cetak biru musik Indonesia, tidak banyak pemuda yang berhasil melakukannya. Brian dimuliakan oleh legenda Ghostface Killah, Wu-Tang Clan; diberitakan kiprahnya oleh majalah Rolling Stone; digali kisahnya oleh produser kelas wahid, Pharrell Williams; tampil di acara tengah malam terbesar asal Amerika, The Late Late Show with James Corden; hingga dibongkar masa lalunya oleh pewawancara musik paling andal, Nardwuar. Semua itu ia lakukan sembari menjalani tur konser panjang di benua Asia, Eropa, hingga Amerika.

Pertama-tama, mari membicarakan The Sailor secara sonik. Album lanjutan dari debutan Amen (2018) ini memiliki musik yang eksperimental dan tak terjebak di satu area trap. Brian memadukan banyak formula; manisnya pop, urbannya R&B, kudusnya gospel, khayalinya psychedelic, dan tentu tangguhnya hip hop. Jiwanya seperti terasuk oleh roh Kanye West ketika menggarap My Beautiful Dark Twisted FantasyHanya saja, The Sailor mengalir lebih polos dan getir.

Ada alasan di balik perasaan tersebut, dapat dikaitkan dengan lirik lagu-lagunya. Sejak nomor pertama berjudul The Sailor, pendengar langsung mencicipi perasaan Brian sebagai pemuda tingkat labil yang berjuang di ganasnya industri musik. I’m feelin’ pressure from my job lately. I guess if I don’t drop a song today, then I’m just lazy. I haven’t dropped a thing in months, so what does that make me? But then again, I’m somewhat famous, you supposed to hate me.” Terlihat memang liriknya begitu gamblang di mana Brian melakukan pendekatan ini di semua lagu The Sailor.

Rapapapa, Drive Save, dan Vacant adalah macam-macam ekspresi dalam hubungan dengan lawan jenis. Yellow bercerita tentang rasnya sebagai orang Asia yang sukses menjadi raper, Kids dan Curious adalah kontemplasi dirinya dalam meraih kesuksesan. Confetti, Slow Down Turbo, Where Does the Time Go menggambarkan gemerlapnya karier bermusik yang sistematis juga dibanjiri stereotip kepalsuan. No Worries tersirat sebagai upaya pengalihan dari tekanan yang begitu besar. Sedangkan 100 Degrees mencoba membangkitkan kebahagiaan lewat suasana musim panas.

Lirik-lirik The Sailor adalah cara bercerita Brian tentang perasaannya yang ambruk ketika meraih kesuksesan. I’m overthinkin’, sound like I’m trippin’. Came to the States, feel like I’m goin’ Lindsay. Taste of fluoride in this water I’m drinkin’. I don’t know why I don’t make friends in this business. Seem like they all wanna win but not with me,” begitu bunyi lirik Curious yang dapat menjadi simpulan.

Tidak berhenti hanya di musik dan lirik, nafas “ironi” dari The Sailor pun diperpanjang ke area pemasarannya. Sebagai catatan, sejak Brian memulai kariernya tiga tahun lalu, ia jarang sekali berkiprah untuk menghibur massa tanah kelahirannya. Brian terhitung jarang tampil di pergelaran musik Indonesia. Ia pun tak tersentuh oleh wartawan kelas arus utama. Bahkan dirinya tak pernah menggunakan Bahasa Indonesia di hadapan publik. Tentu saja, ini dapat diasumsikan sebagai upaya berstrategi yang hebat dari labelnya, 88Rising. Selayaknya Brian tengah memfokuskan diri dalam menembus pasar internasional, tak banyak musisi muda manapun yang bahkan berani memimpikannya.

Kembali ke area pemasaran, The Sailor justru telah membuat Brian seakan pulang dari rantauan hebatnya. Ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo yang diliput oleh banyak media, membuat publik akhirnya mengetahui sisi lainnya yang canggung serta etika sopan santunnya ala orang timur. Video musik Kids dan film pendek Rich Brian is the Sailor juga digarap dengan sentuhan “bintang dari kampong”, sebuah penyampaian kisah dramatis yang menjadi konsumsi favorit mayoritas masyarakat tanah air. Promosi The Sailor pun dilakukanlewat kerja sama dengan beberapa perusahaan yang sukses berbisnis di Indonesia, salah satunya dengan perusahaan teknologi terbesar yang dikenal dengan ojek daringnya.

Kemudian pertanyaannya, mengapa langkah-langkah pemasaran macam ini sudah dilakukan di album kedua? Bukankah terlalu cepat bagi seorang Rich Brian untuk menoleh ke belakang sekarang, sedangkan dirinya selalu sukses menatap jauh ke depan sejak 2016? Apakah ini disebabkan keroposnya jiwa dan energi Brian di balik kesuksesan berkariernya, sehingga ia memutuskan untuk “pulang” sejenak?

Rangkaian dari elemen musik, lirik, dan pemasaran The Sailor ini membuat penggemar Brian di Indonesia seharusnya mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya. Pemahaman yang tidak mungkin didapatkan oleh penggemar Brian di negara-negara lain.

Sejarah mencatat memang tidak mudah memulai karier bermusik sejak usia tanggung. The Beatles adalah contoh paling mudahnya, proses pendewasaan mereka diawasi langsung oleh sejuta pasang mata di dunia. Dampaknya, mereka dapat dicintai dan dibenci dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula yang dialami Brian dalam tiga tahun terakhir. Ia tertekan, namun The Sailor tetap menumpahkannya dengan cara yang paling tersusun; baik secara musik maupun bisnis.

 

Penulis: Pramedya Nataprawira

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

TAGGED :
Please wait...