CLASIFIED CULTURE | LOOK | 29 Agustus 2019

Tongkah Kopi, Gak hanya nyore dan bersenja-senja

Saya coba tawarkan kamu, para penikmat kopi, senja, dan puisi, warung kopi dengan pengalaman tersebut.

Kriteria semacam apakah yang membuat café atau warkop (warung kopi) itu menarik untuk dikunjungi? Variasi biji kopinya? Tingkat kemutakhiran mesin yang digunakan? Kecakapan barista nya, atau faktor lokasi (jauh atau dekatnya) warkop itu?

Pertanyaan tersebut selalu muncul tatkala saya menikmati secangkir kopi entah di suatu warkop, angkringan, atau di rumah saya sendiri. Banyaknya warkop yang bermunculan dengan tema-tema dan gimmick yang unik serta kekinian, tentu cukup membuat bingung mencari warung kopi dengan pengalaman yang berbeda, harga yang lebih terjangkau, tetapi tidak mengurangi kenikmatan ngopi. Tentu pada akhirnya ini merupakan buah dari opini saya, it is up for you to decide!

Nama warung kopinya adalah Tongkah Kopi beralamat di Jl. Bardosono, Klisat, Nglengking, Sendangrejo, Minggir, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Alamatnya cukup mouthful tetapi lokasinya sudah ada di Google Maps). Banyak yang tidak menyangka bahwa di lokasi pinggiran kota Yogyakarta yang kosmopolit terdapat warung kopi, karena biasanya di pinggir kota lebih didominasi warung koboi alias angkringan.

Tongkah Kopi didirikan pada tahun 2017 oleh empat sekawan yang berdomisili di daerah Barat kota Yogyakarta. Keempat pemuda tersebut memang sudah menyukai kopi sejak lama dan bertekad membuat usaha warkop bersama-sama dengan modal patungan sebesar 2 Juta rupiah. Penghasilan perdana mereka dikumpulkan untuk membeli alat-alat meracik kopi, hingga sekarang mereka telah menambah alat-alat baru dan mempercantik warkop supaya pengunjung dapat merasakan atmosfer yang maksimal di Tongkah.

Pemilihan lokasi tersebut juga menjadi salah satu tantangan mereka yang paling besar. Menurut Barkah, salah satu pengelola sekaligus peracik kopi di Tongkah, lokasi yang jauh dari pemukiman mahasiswa menjadi kendala awal usaha mereka, ditambah budaya ngopi gaya café belum cukup populer di daerah tersebut. Walau mereka telah memiliki akun Instagram dan situs web, pada akhirnya yang membuat warkop mereka ramai adalah budaya lisan kawan-kawan mereka.

Barkah dan kawan-kawan rajin dolan ke warkop-warkop lain di daerah Godean, dan mengikuti acara-acara workshop kopi. Selain melalui media sosial dan situs web, promosi mulut ke mulut inilah yang menurut Barkah masih menjadi andalan mereka.

Lokasi Tongkah Kopi yang berada di pusat pemukiman desa, pada awalnya juga menimbulkan pertanyaan dari warga desa tersebut. Tetapi melalui proses srawung (bertemu dan bercengkrama) dalam pertemuan-pertemuan di masyarakat, warga desa pun yakin bahwa Tongkah merupakan ruang pertemuan dengan energi positif. Warga desa, khususnya pemuda dan pemudi, pun mendapatkan tempat untuk rapat, ngobrol, dan belajar. Selain itu, Tongkah juga memiliki koleksi buku hibah yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Lantas kualitas apa lagi yang ditawarkan di Tongkah? Memang dari segi variasi kopi, menu, dan kecanggihan alat racik, Tongkah jelas masih kalah dengan warkop-warkop di Yogyakarta yang sudah punya nama duluan seperti Space Coffee Roastery, Anomie, dan Kopi Yuk, tetapi, menurut saya (menurut saya lhoo ya…) kualitas hospitality mereka juara.

Tidak ada kata tidak bagi barista Tongkah untuk duduk, ikutan ngopi, ngudud (kadang juga nglinthing) menyapa pengunjung di tengah kesibukan mereka. Selain itu, bagi yang ingin rehat dari kesibukan pusat kota, suasana pedesaan dengan sawah yang asri dan nihilnya internet nirkabel di sini bakal membuat Anda betah berlama-lama nongkrong di sini untuk menyepi, ngobrol, serta berkontemplasi sambil menulis puisi atau mengerjakan skripsi.

Lantas apa aja yang ditawarkan di Tongkah? Ada beberapa variasi biji kopi yang menarik untuk dicoba, tentu sesuai stok yang ada (terkadang ada Gayo, Temanggung, dan Kintamani). Peracikannya terbilang standar warkop-warkop kebanyakan, tetapi yang membuat beda adalah penamaanya yakni, tubruk, saring, Vietnam Drip, Mandasari, dan Samadya. Salah satu racikan yang paling laris adalah Mandasari dan Samadya. Apa itu kok namanya kayak putri Jawa?

Pada dasarnya keduanya adalah Latte, tetapi berhubung adanya aturan-aturan khusus mengenai “hukum” meracik Latte, mereka memutuskan memberi nama tersebut. Mandasari untuk racikan es kopi susu dengan gula jawa cair, dan Samadya merupakan kopi susu panas dengan gula biasa. Menurut saya, Mandasari bernuansa ringan dan berpadu dengan gurihnya susu serta manis legitnya gula jawa. Selain dari segi rasanya, penamaan yang unik tersebut menambah daya tarik atmosfer Tongkah Kopi.

Bagi yang nggak suka kopi santai saja! Ada pilihan cokelat susu yang juga nikmat (bisa es atau panas), dan kaskara. Kaskara adalah kreasi dari kulit buah kopi yang dikeringkan, lalu diseduh seperti teh. Rasanya ringan, fruity, dan wangi, seperti teh rosela.

Bagi Anda yang lapar karena menempuh jarak jauh ke Tongkah juga tidak perlu khawatir, karena mereka juga menyediakan sub-menu Dapur Ibuk yang menyajikan menu camilan seperti Tempe Mendoan, Jamur goreng crispy, dan Roti Bakar, serta menu berat seperti nasi goreng ayam. Harga yang mereka banderol pun sangat terjangkau, mulai dari 8.000 sampai 15.000 rupiah.

Tapi sekali lagi, keputusan warkop mana yang enak dan nyaman itu pilihan hati nurani kamu masing-masing. Melalui tulisan ini pula saya sebenarnya ingin berargumen kalau keramah-tamahan (hospitality) merupakan aspek yang tidak boleh disepelekan dalam bisnis kuliner. Aspek keramah-tamahan tersebutlah yang jarang ditemukan secara tulus di warkop ternama dan apalagi warkop berbasis waralaba. Selain itu, tiap warkop tentu memiliki kualitas yang berbeda-beda dan tiap kualitas tersebut memiliki daya panggil dan pasar yang berbeda pula. So, selamat berbudaya! Selamat ngopi!

Penulis: Hugo S. Prabangkara

Editor: Fik


Photography By : Istimewa

Please wait...