CLASIFIED CULTURE | JOURNEY | 12 Juli 2019

Tour Lihat Corat-Coret Tembok di "Sarang Seni" IKJ

Tour? Memangnya tempat wisata? Atau memang bisa jadi tempat wisata Instagram? Enggak tahu juga. Enggak ada yang buat. Tapi pastinya bikin penasaran. Seenggaknya, saya sendiri yang penasaran.

Awalnya gara-gara ingin lihat-lihat mural alias corat-coret tembok di kota-kota seperti Jakarta ataupun Bandung. Soalnya buat saya pribadi, corat-coret tembok atau juga disebut "tembok bomb" atau "grafiti" atau juga "mural" ini ya isinya ungkapan perasaan. Ada makna-makna tersendiri di sana.

Nah, tiba-tiba kepikiran deh, bagaimana jadinya bentuk corat-coret tembok yang justru dibuat di "sarang seni" Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di daerah Cikini, Jakarta Pusat.

Kenapa? Yang pertama, pasti bikinnya mikir dulu. Pastinya, sudah ada konsepnya dulu. Atau seenggaknya lebih dari itu, coretan tersebut punya pesan tersendiri, yang minimal adalah pesan buat orang-orang yang (bisa) ada di institut itu sendiri. Ya bisa buat mahasiswanya, dosen-dosennya, rektoratnya, ya entah siapa saja. Mungkin juga buat orang-orang kayak saya, yang iseng-iseng tour masuk kampus di belakang Taman Ismail Marzuki itu.

Akhirnya wisata corat-coret tembok itu saya mulai. Jalan yang saya ambil lewat di gang sebelah kiri bioskop XXI TIM. Soalnya, jalan masuk ke area IKJ bisa juga dari samping Teater Jakarta. Begitu masuk dan melewati gang tadi, area IKJ selanjutnya punya lapangan luas termasuk untuk tempat parkir mobil dan sudut-sudut pohon rindang.

Baru di gang itu saja sudah ada sederet mural. Tapi kalau yang namanya masuk kampus berarti tik-tak-tik-tuk jalan kaki ke arah kiri dan masuk langsung ke depan kampus, saya belok kanan dulu. Di situ ada satu "teraseni" yang bersebelahan sama gardu listrik.

Kira-kira begitu namanya. "Teraseni", bukan "teras seni", meskipun maknanya serupa. Namanya juga nyeni. Huruf "S"-nya cukup satu. Bagian temboknya punya tulisan besar "Seni itu apa?"

Apa itu seni? Jawabannya bisa dilihat di pilar-pilar yang ada. "Seni itu kata. Seni itu konteks. Seni itu generator dunia." Uff apa tuh. Serasa ada "tour" baru di kepala.

Lumayan kan buat hiburan pertama untuk cari-cari makna?

Seenggaknya saya bisa menikmati makna "seni itu generator dunia". Ini berdasarkan interpretasi saya doang ya. Maksudnya buat saya kira-kira begini: orang buat sepeda motor, mobil, rumah, buku, jasa catering, bank, aplikasi pasti berangkat dari satu ide dulu.

Ide itu mungkin saat muncul bukan main menarik di kepala kita. Bentuknya bebas, penuh rasa, dan pada akhirnya fungsional. Lalu hal-hal yang bebas dan penuh rasa ini, katakanlah itu karya-karya seni, muncul lagi di mana-mana, dari sekian banyak orang.

Orang menuangkannya dalam bentuk apa saja, mau visual, ataupun bersuara alias audio, atau lainnya. Akhirnya menggerakkan ide-ide baru, menginspirasi. Makanya jadinya kayak generator buat kehidupan dunia. Bisa fungsional, bisa juga sepenuhnya soal rasa dan dinikmati.

Begitu sih kira-kira menurut saya. Namanya juga sok tahu. Dan di depan mural-mural ini, punya rasa sok tahu bikin saya bisa suka-suka main-main sama intrepretasi. Hehehehe....

Nah itu baru satu. Sekarang waktunya saya jalan-jalan ke gardu. Kenapa gardu? Soalnya, gardu listrik lumayan sering jadi tembok nestapa alias tempat curhat dadakan. Coba saja lihat-lihat gardu listrik di kompleks rumah. Pasti isinya coret-coretan orang. Mungkin dikira enggak ada yang punya, jadinya bisa buat curhat.

Ngomong-ngomong soal area gardu, area belakang umumnya memang jadi daerah "bronx". Itu juga jadi alasan kenapa saya mulai masuk di sini. Bukannya nemu mural kayak di depan sih. Yang di sini itu hmmm.... lihat sendiri deh. Maknai sendiri juga deh....

Kadang bukan tembok gedung yang jadi sasaran corat-coret. Tempat sampah pun juga bisa. Misalnya gambar yang ada tulisan "Nams jugs ans muds" (Namanya juga anak muda). Kenapa anak muda? Entahlah... Chill, kali....

Mural-mural lainnya juga berbentuk penghormatan buat tokoh-tokoh di institusi ini. Ada gambar ilustrasi sejumlah mahaguru, termasuk Didi Petet dan Sena A Utoyo. Gambar wajah mereka terpampang di gedung pertunjukan teater. Dua orang ini sendiri adalah pendiri Sena Didi Mime, kelompok teater pantomime yang didirikan tahun 1987.

Mural-mural lain yang penuh permainan warna juga bisa dilihat di area dekat lab atau bengkel seni rupa. Ada gambar sekelompok tengkorak naik mobil hot rod dengan daun besar di belakangnya. Daun sih. Daun kan?

Lalu ada juga gambar wajah berbasis animasi yang bagian otaknya kelihatan dan bertuliskan "seminar", "tugas akhir", "begadang", "kuliah". Kuliah memang ruwet sih. Nih buktinya....

Ada juga gambar muka besar yang kayaknya Salvador Dali dengan kumis khasnya yang "berenergi", "take off" ke kanan kiri. Di sebelahnya ada tulisan soal mempertanyakan "eksistensi kesenian sangat berbeda dengan eksistensi kesarjanaan – Kashan surat kesepuluh".

Nah, tuh, setuju atau enggak? Ah tapi ini bukan soal setuju atau enggak. Yang jelas, sudah lumayan menarik kalau kita mempertanyakannya. Begitu, enggak?

Lanjut tidak jauh dari situ, masih di area "bronx" dengan pesan kayak begini: "jika kau diam, maka kau akan ditinggalkan sejarah". Yah, namanya ide, ungkapan pikir dan rasa, sebaiknya memang jangan cuma disimpan sih. Jangan diam, maksudnya. Bikin deh apa aja….

Masih soal mural tapi agak menjauh dari kampus. Ada satu tulisan besar yang mungkin ukurannya 2 x 10 meter. Posisinya di samping Teater Jakarta dekat taman. Tulisannya berbunyi "Gamau Diatur". Iya deh, enggak mau diatur-atur. Biar bebas, asal jangan bablas. Haha! 

 

Penulis: Wahyu Harjanto

Editor: Fik


Photography By : Dokumentasi Kokerekayu

TAGGED :
Please wait...