CLASIFIED MUSIC | ORIGINS | 31 Oktober 2019

Waktu Tiba, Pukul Balik!

Ada pangkal yang memulai seteru sampai sikap dan prinsip yang tercermin dalam lagu.

Di tahun 2007 Khemod pernah memanjatkan doa untuk calon anaknya yang masih berupa benih di dalam kelaminya, “semoga di masa kau lahir kau tidak perlu lagi berurusan dengan polisi-polisi moral yang membawa diri atas nama Tuhan, bisa seenaknya menginjak-injak privasi dan kebebasan berekspresi kalian hanya karena perbedaan persepsi. Semoga kaum puritan tersebut sudah punah di saat kau besar nanti.” Dia menutupnya dengan mengucapkan Amin, yang artinya kabulkanlah doa kami.

Hahaha. Amin akhirnya tinggal Amin. Dua belas tahun kemudian lihat apa yang terjadi, kini Khemod adalah seorang ayah dari dua anak bocah; di Indonesia ada seorang Gubernur dizalimi hanya karena matanya sipit, lawan politik yang tak seiman dengan seorang habib yang dipuja karena bicaranya menghina kepercayaan orang lain. Goreng menggoreng isu yang digoreng, tahi anjing, puritan diberi makan, rakyat jelata diternak penguasa. Tampak kedangkalan tidak banyak berubah di negara ini, bahkan mungkin sudah seharusnya para calon presiden RI beserta para kroni partainya tampil bertelanjang bulat di layar televisi karena sudah banyak orang yang mudah dibuat percaya dengan membenci.

“Gue punya kebencian, tapi kebencian gue tidak merugikan manusia. Gue hanya benci orang goblok,” kata Arian ketika ditemui bersama Sammy di Lawless, kerajaan bisnis milik mereka berdua yang meliputi toko label rekaman & merchandise, restoran & bar burger, bengkel kustom sepeda motor dan kantor desain di wilayah Kemang Selatan, Jakarta. Juga ikut berada di Lawless ketika saya menemui mereka adalah Firman Zaenudin, drummer Teenage Death Star/Petaka/The Brandals, Riza Prawiro alias Oyoy gitaris band sludge Godplant dan Yudi Labo, kru drum Seringai yang punya meja di sana. “Kami alergi orang goblok,” lanjut Arian melancipkan pernyataan sebelumnya.

Sekarang di album Seperti Api, Seringai tidak lagi menyertakan catatan pinggir pada lagu-lagunya dengan beberapa alasan. Ricky mengatakan salah satu pasalnya adalah karena Arian sudah menulis dengan sangat jelas, lirik-liriknya cukup gamblang menyasar permasalahan, yang sialnya masih relevan dan pantas dilawan.

Seringai adalah band yang tepat untuk dunia yang sedang, dan tidak akan pernah bisa baik-baik saja. Sekarang Atau Nanti, nomor cepat dari daftar ke sepuluh album Seperti Api bicara tentang kedangkalan orang-orang goblok itu, semacam herpes yang menular di antara kebodohan dan kebodohan yang terus dipelihara.

Bukan lagu yang paling keren di album memang, tapi cukup untuk memberi perasaan ironi pada seruan awalnya: kebencian yang coba dipadamkan dengan emosi kebencian. Khemod menyebutnya sebagai lagu kritik yang bertanggung jawab sebab memberi jalan keluar. Berikut salah satu baris yang ditulis Arian: ‘berbeda agama atau kepercayaan/gagasan harmoni, sesederhana ini: saling toleransi, saling hargai!’.

Bicara rasisme, Seringai pernah punya pengalaman seru di tahun 2015 ketika mereka dihadang oleh ormas Front Pribumi di sebuah panggung pensi SMA di Bogor. Tuduhannya adalah mereka harus bertanggung jawab atas pernyataan hinaan kepada Ki Gendeng Pamungkas, paranormal, tokoh masyarakat yang kerap menggalakkan sentimen anti ras Cina.

Sebelumnya, terlebih dahulu terbit sebuah petisi yang digagas oleh penulis Donny Anggoro di situs Change.org agar sang paranormal itu diseret ke pengadilan karena telah berkali-kali menyebarkan pesan kebencian/rasisme kepada anak muda. Tidak lama kemudian Burgerkill dan Down For Life memutuskan mundur dari acara Brutalize In The Darkness besutan si Gendeng yang juga menampilkan band black metal Norwegia, Gorgoroth.

Dari situlah pangkal seteru dimulai.

Seringai, menurut Arian saat kejadian itu berlangsung, seperti dikutip dari Berita Ekspres, menunjukkan sikap yang cukup santai. “Kami enggak pernah bikin statement apa-apa, jadi kami biasa saja. Tapi memang saya ikut menandatangani petisi yang dibuat orang lain,” katanya.

Sekarang sewaktu diminta mengisahkan kembali perkara tersebut, Arian dan Sammy mengejeknya dengan tawa. Bahkan Labo yang sedari tadi tenggelam di balik headset komputernya ikut keluar membuka cerita ini. Dia, tentu saja ikut hadir di sana, di belakang panggung, seusai main ketika Ki Gendeng Pamungkas bersama para anak buah berbadan tegapnya masuk ke dalam diikuti beberapa petugas polisi.

“Pas dia baru datang langsung teriak, ‘Mana yang namanya Arian, mana?!’ Dia enggak tahu muka elo, Ian,” seru Labo yang punya mata Cina dan sudah bekerja di band itu selama lebih dari satu dekade.

“Seringai memang ikut nge-share petisi itu lewat Facebook, yang akhirnya bikin dia ngambek,” sambut Arian. “Kami ditahan enggak dibolehkan pulang. Terus pas ketemu mau ditusuk – dia datang mengeluarkan pisau. Gue inget begitu dia mengancam, anak-anak enggak langsung takut, kami melawan balik.”

“Reaksi polisi gimana waktu itu?” tanya saya.

“Ya begitu deh,” tawa Sammy mengenyek. “Mereka bilang akan menengahi dan mengamankan, pas orangnya datang mereka malah cium tangan. Wah, enggak beres!”

“Akhirnya ada dialog? Atau malah bacot-bacotan?” saya tertawa.

“Ya kami bilang kalau sikap kami itu berdasarkan adanya ajakan rasisme di akun Facebook dia. Tapi dia menyanggah,” kata Arian.

“‘Enggak ada tuh saya bilang-bilang kayak begitu, saya enggak rasis, banyak juga teman-teman saya yang Cina’,” sanggah Gendeng seperti ditirukan Sammy.

“Semua juga sudah lihat, memang ada status dia akan membagikan kaos-kaos anti Cina di acara itu, kan?” kata saya.

“Kami juga punya screen capture-nya, tapi dia tetap enggak ngaku, kayak halusinasi,” balas Sammy.

“Yah namanya juga preman,” lanjut Arian sambil membenarkan letak kacamatanya yang turun. Saya menebak minusnya tiga ke atas.

“Kalau menurut gue sih, itu cuma an act of bullying karena merasa, ‘gue bisa melakukan itu.’ Soalnya ujung-ujungnya enggak menghasilkan mufakat juga,” sebut Sammy lagi.

“Habis semuanya kelar dan kami bisa pulang, status Facebook-nya langsung update: dia bilang sudah bertemu kami, dan kami meminta maaf dengan terkencing-kencing,” tawa Arian sinis di bagian ini.

“Tapi Seringai juga enggak bikin pernyataan apapun tentang kejadian itu,” sergah saya.

“Enggak,” kata Arian pendek. “Kami bikin lagu.” Lalu dia tertawa panjang, penuh kebanggaan.

Catatan: Pada bulan Mei tahun 2017 Ki Gendeng Pamungkas ditangkap polisi dengan tuduhan melanggar Pasal 4 b jo Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 156 KUHP tentang Perbuatan Menunjukkan Kebencian karena Perbedaan Ras dan Etnis. Di antara barang bukti yang diperoleh ketika tersangka dicokok adalah jaket jeans bertuliskan ‘Fight Against Cina’, sebuah topi Front Pribumi berwarna hitam, 4 buah pisau sangkur, 2 air softgun dan sejumlah stiker juga lencana dengan tulisan anti-China.

Bersambung...

 

 

Penulis: Rio Tantomo

Editor: Fik

 


Photography By : Rigel Haryanto

Please wait...